JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Oly Viana Agustine menyambut kedatangan para mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sukabumi pada Kamis (30/1/2020) di ruang delegasi MK. Pada pertemuan itu, Oly membahas peran Mahkamah Konstitusi dalam penegakan hukum di Indonesia.
“Kita ketahui bahwa sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia berubah sejak adanya amendemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 sampai dilakukan adendum sebanyak empat kali. Kemudian lahirlah Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003,” kata Oly kepada 100 mahasiswa yang hadir.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ungkap Oly, Mahkamah Konstitusi disebutkan sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Awalnya, sistem kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. “Namun sejak adanya Mahkamah Konstitusi, sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi dua. Ada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,” ujar Oly.
Terkait kekuasaan kehakiman, kata Oly, ada proses penegakan hukum. Kalau Mahkamah Agung menegakkan hukum dengan kewenangan yang dimiliki dengan peradilan yang di bawahnya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang diberikan kewenangan limitatif oleh Undang-Undang Dasar. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat yang pertama dan terakhir serta tidak ada upaya hukum.
Dalam melaksanakan tugasnya, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. “Pengujian undang-undang adalah ketika ada kerugian konstitusional warga negara dengan berlakunya undang-undang. MK menjadi pelindung hak konstitusional warga negara yang terlanggar. Ketika ada undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, MK memiliki kewenangan untuk membatalkan norma undang-undang tersebut,” imbuh Oly.
“Prinsip pengujian undang-undang di MK, tidak perlu pengacara, tidak memerlukan biaya perkara. Teman-teman tinggal datang, banyak sekali contoh dan prosedur permohonan berperkara di MK,” tambah Oly.
Oly melanjutkan, MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Contohnya, MK pernah menyidangkan sengketa kewenangan antara Presiden dengan DPD. Berikutnya, MK berwenang memutus pembubaran partai politik. “Pembubaran politik dilakukan ketika ada partai politik yang bertentangan dengan asas dan tujuan dari Pancasila. Hal itulah yang menjadi kewenangan MK untuk memutus pembubaran parpol,” ucap Oly.
Namun demikian, sambung Oly, sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk belum pernah ada permohonan pengujian pembubaran parpol yang masuk. Berbeda dengan MK Jerman yang sudah memutus pembubaran tiga parpol karena dianggap mengancam keamanan negara dan bertentangan dengan prinsip demokrasi di Jerman.
Berikutnya, ada kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif. Kemudian ada kewajiban MK memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum. Di luar kewenangan dan kewajiban MK tersebut, ada kewenangan tambahan MK untuk memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Lebih lanjut Oly menyinggung sistem pengisian jabatan Hakim MK yang berbeda dengan di Mahkamah Agung maupun pengadilan negeri. Hakim MK bukanlah hakim yang meniti karir dari awal, tetapi merupakan pilihan dan perwakilan dari kekuasaan yang ada di Indonesia. Ada perwakilan dari lembaga eksekutif (Presiden), legislatif (DPR) dan judikatif (MA). Tiga perwakilan ini berjumlah masing-masing tiga orang, sehingga seluruh Hakim MK berjumlah sembilan orang. (Nano Tresna Arfana/LA)