JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebanyak 70 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/1/2020). Para mahasiswa diterima oleh Peneliti Senior Mahkamah Konstitusi (MK) Irfan Nurachman di ruang delegasi MK.
Dalam paparannya, peneliti bergelar doktor ini menyampaikan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berimplikasi, baik pada sistem maupun struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.
“Semula Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memosisikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun pascaperubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukannya sederajat dengan Presiden, MA, MK, DPR, DPD dan BPK,” kata Irfan.
Selain itu, sambung Irfan, MPR tidak lagi berwenang untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman pembangunan nasional ke depan. Kini pembangunan nasional diwujudkan oleh pembentuk undang-undang melalui Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
“Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari Pemilihan Presiden secara langsung. Oleh karena Presiden terpilih lah yang berhak menentukan program pembangunan jangka menengah nasional dalam lima tahun periode kepemimpinannya,” jelas Irfan.
Dikatakan Irfan, implikasi perubahan UUD 1945 juga telah melahirkan salah satu lembaga peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Selain memiliki lima kewenangan, dengan pengujian UU sebagai kewenangan utama, MK juga memiliki fungsi yang merupakan derivasi dari kewenangannya itu, yakni sebagai penafsir konstitusi, pengawal konstitusi, pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, pelindung hak minoritas dan pelindung ideologi negara.
Dalam perkembangannya, MK tidak hanya sebagai negative legislature yang berperan untuk menghapuskan norma, tetapi juga berperan sebagai positive legislature yang berperan merumuskan norma agar tidak bertentangan dengan konstitusi melalui putusan konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional bersyarat dan putusan yang memberikan tenggat kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi terhadap suatu undang-undang.
“Apabila sampai tenggat yang telah ditentukan, pembentuk undang-undang tidak melakukan revisi, maka norma tersebut menjadi inkonstitusional,” tegas Irfan.
Irfan menyampaikan, implikasi perubahan UUD 1945 selanjutnya adalah adanya pergeseran sumber hukum nasional. Sebelum kemerdekaan, sumber hukum nasional terdiri dari hukum adat, hukum agama Islam dan agama lainnya, hukum Belanda, hukum Jepang. Sedangkan sumber hukum pasca kemerdekaan terdiri dari adanya perkembangan dari civil law dan common law serta instrumen perjanjian internasional.
“Namun pasca reformasi terdapat sumber hukum baru dalam pembangunan hukum nasional yakni putusan MK. Sebab perubahan UUD 1945 telah meniadakan Penjelasan UUD 1945. Karena materi Penjelasan yang bersifat normatif diangkat ke dalam pasal-pasal dan perubahan pada sistem dan struktur ketatanegaraan telah membuat Penjelasan UUD 1945 sudah tidak relevan lagi. Dalam posisi ini, kata Irfan, putusan MK yang menafsirkan konstitusi, berfungsi sebagai Penjelasan UUD 1945,” urai Irfan.
Oleh karena itu, kata Irfan, dapat dikatakan putusan MK sederajat dengan konstitusi dan wajib ditaati oleh para addresat putusan MK. Demikian Irfan memaparkan tentang urgensi putusan MK dalam pembangunan hukum nasional.
(Nano Tresna Arfana/LA)