JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian materiil Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diajukan oleh Forkorus Yaboisembut dalam perkara Nomor 76/PUU-XVII/2019 dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman bersama para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (29/1/2020).
Mahkamah berpendapat, setelah mencermati permohonan Pemohon dengan saksama, meskipun Pemohon telah menyampaikan surat yang oleh Pemohon disebut “perbaikan permohonan” bertanggal 10 Desember 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 13 Desember 2019, ternyata dalam “perbaikan permohonan” tersebut tidak terdapat perbaikan terhadap sistematika permohonan maupun kejelasan uraian terhadap objek permohonan.
“Bahkan dalam perbaikan permohonan sebagaimana dimaksud Pemohon, permohonan tetap tidak menguraikan struktur permohonan sebagaimana yang telah ditentukan yaitu kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan-alasan mengajukan permohonan, dan petitum atau hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah,” ungkap Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pertimbangan hukum.
Menurut Mahkamah, kalaupun dalam “perbaikan permohonan” terdapat “alasan-alasan”, namun tidak menggambarkan posita sebagaimana layaknya permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Demikian juga dengan petitum Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas apa sesungguhnya yang diminta oleh Pemohon yang relevan dengan kewenangan Mahkamah. Dengan demikian, permohonan tersebut tidak memenuhi unsur atau syarat yang seharusnya terdapat pada permohonan pengujian undang-undang.
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur. Oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan mengenai kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, dan pokok permohonan lebih lanjut,” pungkas Aswanto.
Sebelumnya, Pemohon melakukan uji materiil Pasal 87 KUHP, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti imaksud dalam pasal 53.” Selain itu Pasal 88 KUHP, “ Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.”
Kemudian juga Pasal 104 KUHP, “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Dalam permohonan, Pemohon menyatakan keberatan terhadap surat maklumat Kapolda Papua Nomor Mak/1/IX/2019 tentang Keamanan dan Ketertiban Umum yang pada pokoknya berisi larangan melakukan kegiatan yang memisahkan diri dari NKRI dan melakukan pemufakatan jahat sebagaimana diatur dalam Pasal 87, Pasal 88 Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP.
Menurut Pemohon, dengan dikeluarkan maklumat tersebut terhadap seluruh Masyarakat Adat Papua (MAP) yang berada dalam Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Sepihak Bangsa Papua di Negeri Papua Barat atas mantan wilayah kolonial Nederlands New Guinea (Papua Belanda) di Jayapura pada 19 Oktober 2011, bangsa Papua telah menyatakan kemerdekaannya. Hal demikian telah sesuai dengan asas uti possidetis juris dan legal successor of state, sehingga secara hukum telah sah sebagai subjek hukum internasional dan telah memenuhi norma jus cogens. (Nano Tresna Arfana/LA)
https://youtu.be/9HqYp291f7M