JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan yang diujikan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) terkait ketentuan menikah sebagai syarat memilih ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian Putusan Nomor 75/PUU-XVII/2019 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Rabu (29/1/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji secara materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terutama Pasal 1 angka 6 frasa “atau sudah/pernah kawin”. Pemohon menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan pasal a quo khususnya frasa “atau sudah/pernah kawin” telah memberikan ketidakadilan bagi setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih. Padahal, asas adil di dalam sebuah proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah salah satu indikatornya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih. Dengan terdaftar sebagai pemilih itu, pula warga negara dapat memberikan pilihan politiknya ketika memilih kepala daerah. Menurut para Pemohon, adanya syarat “sudah/pernah kawin” sebagai syarat warga negara bisa didaftar sebagai pemilih. Hal ini menyebabkan pilihan untuk kawin dianggap salah satu kedewasaan seseorang.
Lebih lanjut Pemohon mengatakan, setelah adanya putusan MK Nomor 22/PUUXV/2017, dan ditindaklanjuti dengan melakukan revisi terhadap UU perkawinan melalui UU Nomor 16 Tahun 2019, ketentuan di dalam UU a quo sepanjang frasa “atau sudah/pernah kawin” telah menimbulkan ketidakadilan di dalam sistem pendaftaran pemilih bagi setiap warga negara. Hal ini tentu bertentangan dengan asas pemilu dan pemilihan yang dijamin di dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945. Namun, dengan masih berlakunya ketentuan pasal Undang-Undang a quo, telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan batas usia kedewasaan seorang warga negara, berikut juga dengan batas usia warga negara dapat dinyatakan memenuhi syarat sebagai pemilih. Padahal, putusan MK telah menyatakan tidak boleh ada diskriminasi antara usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, batas usia minimal perkawinan juga telah disebutkan ketika seorang warga negara tidak lagi berstatus anak, di mana usia anak sejak dalam kandungan sampai 18 tahun sebagaimana diatur di dalam UU Perlindungan Anak. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap anak karena status perkawinan, ketentuan frasa “sudah/pernah kawin” mesti dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Sesuai UU Adminduk
Menanggapi permohonan tersebut, Mahkamah menilai Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) menyatakan bahwa “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”. Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum menjelaskan Warga Negara Indonesia yang telah memiliki KTP, meski belum berusia 17 tahun tetapi telah kawin atau pernah kawin, yang bersangkutan memiliki hak untuk memilih dan dapat didaftarkan sebagai pemilih sesuai UU Adminduk.
“Persyaratan demikian pun sepanjang memenuhi syarat lain yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU 10/2016, yakni tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan/atau tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kepemilikan KTP bagi mereka yang belum berusia 17 tahun tetapi telah kawin atau pernah kawin karena yang bersangkutan dianggap sebagai individu yang sudah dewasa. Ketentuan ukuran kedewasaan dengan menggunakan frasa ‘sudah kawin’ atau ‘pernah kawin’ terdapat juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan,” urai Suhartoyo.
Suhartoyo juga melanjutkan keberlakuan UU Pilkada untuk menyatakan bahwa walaupun seseorang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun tetapi sudah kawin atau pernah kawin maka yang bersangkutan menjadi individu yang dianggap dewasa. “Pada hakikatnya orang yang dipandang sudah dewasa tersebut dianggap mampu untuk melakukan perbuatan hukum dan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut, termasuk dalam hal ini, perbuatan hukum untuk menentukan pilihan dalam pemilihan umum,” jelas Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo menjelaskan dalil Pemohon yang menilai ketentuan yang diuji bersifat diskriminasi tidak tepat. Menurut Mahkamah, bukan merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif karena hal tersebut tidak termasuk kategori diskriminasi karena keduanya tidak bisa dipersamakan terlebih diperlakukan sama. (Lulu Anjarsari)
https://youtu.be/iAHuW33mw28