JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi (UU Pembentukan Kota Sungai Penuh) di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (16/1/2020). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh sembilan orang Pemohon yang terdiri atas Pensiunan PNS, advokat, tokoh pemuda, dosen, dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih ini, para Pemohon mendalilkan Pasal 13 ayat (4) dan ayat (7) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pasal 13 ayat (4) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh, berbunyi “Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya diperlukan oleh Kota Sungai Penuh.” Adapun Pasal 13 ayat (7) UU Pembentukan Kota Sungai Penuh, berbunyi “Aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi: a. Barang milik/dikuasai yang bergerak dan tidak bergerak dan/atau dimanfaatkan oleh Pemkot Sungai Penuh yang berada dalam wilayah Kota Sungai Penuh.”
Heru Widodo selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan materi muatan pasal a quo menimbulkan multitafsir dan ambiguitas. Sejatinya, permasalahan ini berawal dari pemekaran Kabupaten Kerinci yang melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kota bernama Kota Sungai Penuh. Sedangkan bagi pemekaran empat kabupaten lainnya di Provinsi Jambi hanya melahirkan daerah otonom baru dalam bentuk kabupaten. Akibat dari perbedaan dari hasil pemekaran Kabupaten Kerinci ini adalah perpindahan pusat perpindahan ibu kota kabupaten ke desa Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. Dengan terbaginya wilayah menjadi dua daerah otonom merupakan konsekuensi logis dari pemekaran dengan batas-batas yang ditetapkan dalam UU Pemekaran.
“Dampak dari pemekaran adalah pemindahan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan kabupaten induk yang sejak awal berdirinya menjadi pusat segala kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi, pendidikan, dan berbagai bangunan perkantoran yang memiliki nilai sejarah. Permasalahan ini tidak muncul apabila pemekarannya adalah menjadi kabupaten baru,” ujar Heru.
Selain itu, sambung Heru, kendati Kabupaten Kerinci dibebani pemindahan ibu kota, namun bantuan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan diberikan pada Kota Sungai Penuh selaku daerah otonomi baru. Padahal kabupaten induk juga tetap membutuhkan dana untuk berbagai pembangunan sarana penunjang di desa Bukit Tengahyang manish minim infrastruktur. Berikutnya, permasalahan ketiga adalah pemindahan personel, penyerahan aset, dan dokumen pada daerah otonom atas aset yang terletak di wilayah daerah otonom baru. Hal inilah yang mendorong permaslaahan konstitusionalitas terlanggarnya hak konstitusi para Pemohon. Norma a quo dalam pelaksanaannya bersifat dua tafsir yang berseberangan bahwa pemekaran dalam bentuk kota mempunyai kekhususan dalam hal keberadaan sebagian besar aset milik kabupaten induk berada atau terletak di daerah otonom yang dimekarkan.
Untuk itu, dalam Petitum, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 13 ayat (4) UU Pemmbentukan Kota Sungai Penuh bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya serta kewajibannya melekat pada fungsi dan keberadaan aset yang diserahkan kepada Kota Sungai Penuh.”
Implementasi Norma
Menanggapi permohonan tersebut, Wahiduddin mencermati bunyi pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Mengingat ada beberapa daerah yang juga mengalami pemekaran wilayah, tidak mempermasalahkan bunyi pasal yang diujikan. Sehingga, Wahiduddin melihat hal yang diujikan lebih pada implimentasi norma.
Sementara itu, Enny dalam nasihatnya, menyampaikan mempertanyakan tahapan dari proses pengalihan aset dilakukan oleh pemerintah provinsi. Sehingga dibutuhkan argumentasi dari Pemohon yang menjelaskan kerugian yang dialami oleh Kabupaten Kerinci. “Dengan demikian argumentasi ini berpengaruh pada kedudukan hukum para Pemohon,” jelas Enny.
Adapun Saldi lebih mencermati perlu ditambahkannya kedudukan hukum Pemohon tetapi tidak ditemukan hak konstitusional yang terlanggar dengan diberlakukannya norma a quo. Sehingga seolah-olah permohonan ini hanya argumentasi saja, tanpa adanya hak konstitusional yang dirugijan. “Harus jelas rujukan hak konstitusional mana yang dirugikan dan ini perlu ditambahkan untuk membuktikan ini,” saran Saldi.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan permohonan diajukan selambatnya pada Rabu, 29 Januari 2020 pukul 14.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)