JAKARTA (Suara Karya): Persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sampah untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh DPR-RI diharapkan membawa perubahan yang mendasar dalam tata-kelola sampah di Tanah Air. Salah satunya adalah penutupan semua TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang menggunakan sistem penimbunan dalam waktu lima tahun ke depan.
"Lima tahun mendatang semua TPA yang menggunakan sistem "open-dumping" (ditimbun di tanah lapang terbuka - red) akan ditutup. Proses penutupan ini akan berlangsung secara bertahap," kata Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penataan Lingkungan, di Jakarta, Kamis (10/4).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa biaya penutupan TPA sistem "open-dumping" akan dipikul bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. "Penutupan TPA akan dibiayai oleh APBN dan APBD, disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah dan kapasitas tampung sampah," katanya menambahkan.
Selama ini sebagian besar sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih bertumpu kepada pendekatan akhir ("end of pipe"), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke TPA.
"Dengan UU Sampah, kita ingin mengubah paradigma "end of pipe" ini sehingga sampah tidak lagi dilihat sebagai barang tak berguna tapi justru barang yang memiliki nilai ekonomis bila diolah dengan tepat," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar.
Sementara itu Gempur Adnan, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, menjelaskan bahwa saat ini sistem "end of pipe" sudah dilihat tidak layak lagi oleh semua pemerintah daerah dan kota. "Resistensi sosial dari masyarakat dan biaya operasional TPA "open-dumping" terlalu tinggi. Belum lagi, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh TPA jenis ini," kata Gempur Adnan.
Menurut dia, saat ini konsep pengelolaan sampah dengan 3R yaitu "reduce, reuse, recycle" atau "mengurangi, menggunakan ulang, dan daur ulang") sudah banyak dilakukan di tingkat rumah tangga, RW, dan kelurahan. "Dan sejak tahun 2007 KLH tengah mengujicobakan konsep 3R ini untuk tiga kota kecil, yakni Jombang, Singaparna, dan Magelang," katanya.
Dengan sistem pengelolaan sampah yang mengutamakan konsep 3R, lanjut Gempur, pemerintah setempat justru mendapat keuntungan ganda, yaitu pembukaan lapangan pekerjaan, pertambahan nilai ekonomis dari daur ulang, dan volume sampah yang dikirim ke TPA cuma 30 persen dari kondisi pengelolaan tanpa konsep 3R.
Dalam program berdurasi dua tahun ini, pemerintah pusat menyumbangkan dana masing-masing 1 miliar rupiah untuk tiap kota, sebagai bantuan bagi pembuatan sistem pengelolaan sampah yang tidak lagi "open-dumping" dan pengembangan konsep 3R.
Selain 3 kota kecil tadi, KLH juga akan menggelar proyek uji coba serupa untuk sekitar 4-5 kota besar di Indonesia, antara lain Batam dan Makassar.
"Saya yakin dalam waktu lima tahun semua TPA "open-dumping" di kota kecil dan sedang bisa ditutup. KLH akan memberikan panduan bagaimana membuat TPA dengan teknik "landfill", yaitu menumpuk sampah dengan diselingi lapisan tanah," kata Tri Bangun Laksono dari Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLH (Kementerian Lingkungan Hidup).
Sementara untuk pemerintah kota besar dan metropolitan yang bisa melaporkan rencananya menutup TPA "open-dumping" dalam kurun waktu dua tahun ke depan, lanjut Tri Bangun Laksono, akan mendapat insentif anggaran lingkungan hidup.
Gempur menambahkan, insentif dan disinsentif bagi pemerintah kota yang menutup TPA "open-dumping"nya akan juga terlihat dari skor Adipura. "Bila Pemda (Pemerintah Daerah) menutup TPA "open-dumping", kita akan memberikan nilai plus dalam kompetisi Piala Adipura. Tingginya tingkat penerapan 3R di suatu kota juga akan menambah skor kota itu dalam ajang Adipura," demikian Gempur. (Antara)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto http://tianarief.multiply.com