Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (8/1/2020). Perkara yang teregistrasi Nomor 79/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, dan Saut Situmorang. Saat mengajukan permohonan ke MK, para Pemohon masih menjabat sebagai Pimpinan KPK.
Dalam sidang kedua ini, para Pemohon melalui Muhammad Isnur selaku salah satu kuasa hukum menyampaikan beberapa perbaikan terutama yang berkaitan dengan argumentasi permohonan. Menurut pandangan para Pemohon, pembentuk undang-undang tidak partisipatif saat melakukan pembahasan perubahan kedua UU KPK dengan tidak melibatkan KPK dan masyarakat dalam proses perencanaan pembahasannya. Di samping itu, para Pemohon melihat sidang paripurna yang digelar pembuat UU tersebut pun tidak quorum saat pengambilan keputusan. Memperkuat penilaian ini, para Pemohon menyertakan alat bukti berupa video.
Berikutnya para Pemohon menguraikan fakta pembentuk undang-undang menggunakan naskah akademik fiktif dan tidak memenuhi syarat saat perencanaan perubahan kedua UU KPK. “Kami menemukan fakta bahwa naskah akademik pada 2019 itu semua menggunakan naskah akademik 2011,” urai Isnur di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams.
Sangat Cepat
Agil Oktaryal selaku kuasa hukum lainnya menyampaikan bahwa argumentasi lain yang juga diutarakan para Pemohon adalah adanya penyelundupan hukum yang diilustrasikan dalam sebuah diagram yang menunjukan proses pembentukan norma tersebut sangat cepat. Karena, sambuang Agil, selama enam kali masa evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2019, UU KPK tidak masuk sama sekali.
“Kami mencantumkan tanggal mulai 28 Mei 2019, 4 Juli 2019, 5 Juli 2019, 1, 12 Agustus 2019, dan 9 September 2019, kemudian 17 September 2019. Dari 6, paling tidak 5 kali evaluasi dari Prolegnas Prioritas 2019 itu, selain Undang-Undang KPK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2019, tapi 5 kali evaluasi itu Undang-Undang KPK juga tidak masuk,” jelas Agil.
Pada sidang sebelumnya para Pemohon berpandangan bahwa pembentuk UU tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK. Sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui.
Oleh karena itu, para Pemohon menilai proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat ini menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh UU KPK tersebut. Padahal, secara yuridis, Pasal 50 ayat (3) UU No. 12/2011 menjelaskan DPR mulai membahas RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
(Sri Pujianti/NRA).