JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/1/2020). Panel Hakim terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat (Ketua) dan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota).
Jovi Andrea Bachtiar selaku Pemohon hadir dalam persidangan bersama sejumlah Pemohon lainnya. “Terkait perbaikan permohonan kami, sebagaimana pernah diberikan nasihat Yang Mulia pada sidang sebelumnya, pada intinya tidak terlalu banyak perubahan. Namun kami malah menambahkan posita untuk memperkuat dalil-dalil permohonan kami,” kata Jovi.
Penambahan posita, menurut Pemohon, hampir sebagian besar berkaitan dengan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK. Misalnya di poin 6 halaman 38 permohonan Pemohon, penambahan posita menyebutkan “suatu keniscayaan bahwa keberadaan dewan pengawas dapat merusak prinsip-prinsip negara hukum yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 …”
Sebagaimana diketahui, Jovi Andrea Bachtiar bersama sebelas Pemohon lainnya melakukan pengujian materiil Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 69A ayat (1), dan Pasal 69A ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Para Pemohon Perkara Nomor 77/PUU-XVII/2019 mempermasalahkan kewenangan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Menurut para Pemohon, selain bertentangan dengan prinsip peradilan yang bebas dan merdeka, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan kewenangan Dewan Pengawas dalam UU KPK berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan. Sebab Dewan Pengawas dalam UU KPK merupakan lembaga struktural yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, sebagaimana terlihat dari ketentuan terkait mekanisme dan prosedur pengangkatan serta pemberhentian kelima anggotanya.
Sementara itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 30 UU KPK diketahui bahwa pimpinan lembaga antirasuah tersebut diperoleh melalui mekanisme checks and balances antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Suatu keanehan tersendiri apabila lembaga bantu negara (state auxiliary institution) yang didirikan dengan tujuan untuk membantu pencegahan dan penindakan dalam proses hukum terkait tindak pidana korupsi memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan lembaga pengawas internal sebagaimana dibentuk dengan tujuan melaksanakan fungsi pengawasan terhadapnya.
Sekalipun terdapat Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR dan Dewan Kehormatan Konstitusi di MK, tetapi kedua lembaga tersebut tidak diberikan kewenangan untuk mengambil alih kewenangan pokok organ yang menjadi obyek pengawasannya. Menjadi sesuatu yang sangat aneh apabila Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK diberikan kewenangan untuk menentukan “dapat” atau “tidaknya” dilakukan penyitaan, penyadapan, dan/atau penggeledahan.
(Nano Tresna Arfana/NRA)