JAKARTA, HUMAS MKRI – Keterbatasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam mengawasi anak-anak Indonesia di pelosok Nusantara dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi Nomor 85/PUU-XVII/2019 tersebut digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (8/1/2020). Perkara ini dimohonkan oleh 11 pemohon, di antaranya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Provinsi Kalimantan Barat (KPPAD Prov. Kalbar), Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kota Bogor (KPAID Kota Bogor), Komisi Perlindungan Anak Daerah Kota Bandung (KPAD Kota Bandung), Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Bangka Belitung (KPAD Prov. Babel), Komisi Perlindungan dan Perlindungan Anak Daerah Provinsi Kepulauan Riau (KPPAD Prov. Kepri), Komisi Perlindungan Anak Daerah Kab. Subang, M. Zahrin Piliang, Meidy Hendrianus, Elvi Hdriany.
Dalam perkara tersebut, para Pemohon mendalilkan 3 pasal dalam UUPA, yakni pertama, Pasal 74 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen”. Kedua, Pasal 74 ayat (2) yang berbunyi, “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah”. Ketiga, Pasal 76 huruf a UUPA yang berbunyi, “Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perindungan dan pemenuhan hak anak.” Semua ketentuan pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Muhammad Joni selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa KPAI bersifat independen yang bertugas bagi seluruh anak Indonesia. Namun secara kelembagaan, lembaga ini dibatasi dan tidak mencakup komisi perlindungan anak daerah. Seharusnya, sambungnya, organisasi ini tersusun sebagai satu kesatuan dalam sistem kelembagaan institusi HAM. Akibatnya, hal ini pulalah yang menghambat fungsi pengawasan hak-hak anak hingga pelosok daerah di Indonesia.
Sedangkan untuk ketentuan Pasal 74 ayat (2) UUPA sepanjang frasa “dalam hal diperlukan”, “dapat”, dan “atau lembaga lain yang sejenis” yang berakibat pada tidak ada dan tidak efektifnya infrastruktur pengawasan hak anak-anak khususnya yang berada di pelosok daerah. Sehingga, keadaan ini berujung pada pengabaian, pengucilan, dan perbedaan perlakuan pada anak-anak di pelosok Indonesia dalam hal perlindungan hak-haknya.
“Sedangkan untuk frasa ‘atau lembaga lain yang sejenis’ tersebut terdapat ketidakpastian hukum dan keadilan bagi hak konstitusional anak untuk dapat pengawasan dan perlindungan anak. Dengan adanya kata ini, perlindungan anak dan lembaganya tidak mutlak ada bagi negara. Atau dapat juga bermakna bahwa frasa ‘atau lembaga lain yang sejenis’ itu terdapat pencampurbauran KPAI dengan lembaga yang mendekradasikan perlindungan hak anak,” urai Joni di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Mahkamah menyatakan perlunya para Pemohon yang terdiri atas lembaga perlindungan anak, baik di pusat maupun di daerah untuk memastikan pihak-pihak yang berhak menjadi wakil lembaga di dalam dan luar pengadilan. Menurut Enny, hal ini penting sebagai gerbang awal permohonan yang menunjukkan bukti bahwa patra Pemohon merupakan pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan perkara a quo.
Di samping itu, Enny juga meminta agar para Pemohon menyederhanakan permohonan. Dalam permohonan ini, Enny menemukan banyak duplikasi pernyataan sehingga perlu diringkas lagi agar permohonan para Pemohon mudah dipahami. “Karena permohonan ini diunggah untuk umum dan tentunya dibaca oleh orang lain, maka diharapkan para Pemohon dapat menyederhanakan format permohonan sehingga orang lain pun dapat menangkap hal-hal apa yang dimohonkan para Pemohon,” jelas Enny.
Selanjutnya Enny juga mencermati permohonan para Pemohon belum memuat argumentasi yang lebih konkret terkait kelembagaan perlindungan anak di daerah yang diharapkan para Pemohon sebagai suatu kelembagaan yang wajib dibentuk. “Tetapi tidak diuraikan kenapa menjadi wajib dibentuk. Bagaimana kolerasinya dengan perangkat daerah karena ini berkaitan dengan kewajiban daerah juga,” saran Enny.
Sementara itu, Saldi meminta agar para Pemohon terutama Pemohon perorangan untuk memerhatikan identitas yang disertakan pada permohonan. Selain itu, perlu juga bagi Pemohon perorangan untuk memberikan penjelasan kerugian konstitusional yang ditimbulkan jika adanya norma a quo agar semua memiliki legal standing. Selain itu, Saldi juga menyampaikan perlunya Pemohon menguraikan argumentasi permasalahan struktur organisasi dengan kepentingan hak anak serta analisis lebih lanjut pula dengan struktur pemerintahan.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengingatkan agar para Pemohon menyempurnakan permohonan dan menyerahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 21 Januari 2020 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)