JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakian Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pada Rabu (8/1/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 66/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Sidik yang berprofesi sebagai advokat. Sejatinya sidang ketiga ini diagendakan untuk mendengar keterangn DPR dan Pemerintah. Namun, baik DPR maupun Pemerintah telah mengajukan surat penundaan sidang hingga dua pekan ke depan. “Jadi karena keduanya belum siap, maka sidang ditunda pada Rabu, 22 Januari 2020 pukul 11.00 WIB,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon mengatakan kerugian konstitusionalnya lebih menitikberatkan pada mandat yang diberikan oleh warga negara perorangan kepada DPR agar melaksanakan tugasnya secara adil, jujur dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. Kerugian konstitusional dalam pengujian formil terbukti ada apabila Pemohon merasa DPR tidak melaksanakan fiduciary duty yang telah diamanatkan oleh rakyat secara adil, fair, jujur dan bertanggung jawab. Padahal Pemohon telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum.
Menurut Pemohon, dalam UUD 1945 tidak diatur lebih lanjut selain dari adanya keharusan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Jika semata-mata formalitas pembentukan undang-undang diuji formalitasnya berdasarkan UUD 1945, tentunya semua undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak akan pernah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, Pemohon menilai tidak akan pernah ada pengujian formil atas suatu undang-undang karena faktanya setiap undang-undang yang telah diundangkan selalu memperoleh persetujuan dari kedua lembaga negara tersebut.
Selain itu, Pemohon juga mengatakan, UU Perubahan Ketiga UU MD3 dibentuk dengan melanggar prosedur dan tata cara sebagaimana telah ditentukan dan diatur dalam Tatib DPR. Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 tidak dimuat dalam Prolegnas 2015-2019 maupun Prolegnas Prioritas 2019. Jika Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 diajukan di luar Prolegnas, maka rancangan itu hanya dapat diajukan oleh DPR dan Presiden. Pemohon pun menilai perubahan muatan dalam Pasal 15 UU MD3 tidak didorong oleh kebutuhan mengisi kekosongan hukum atau keadaan genting. Sebaliknya, hal tersebut dipandang Para Pemohon cenderung mengakomodasi kepentingan politik dari partai-partai politik; memberikan setiap fraksi partai politik satu posisi Pimpinan MPR RI, yaitu Ketua atau Wakil Ketua.
Dalam permohonannya, Para Pemohon juga berargumen bahwa UU MD3 tidak didukung oleh naskah akademik yang mumpuni secara sosiologis dan filosofis. Sehingga, Perubahan Ketiga UU MD3 tidak memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan atau dengan kata lain cacat prosedur.
(Sri Pujianti/NRA)