JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Bisariyadi menerima kunjungan 32 mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Dr. Soepomo (Unitomo), Surabaya pada Senin (6/1/2020). Bisariyadi menerangkan berbagai hal terkait hakim konstitusi.
“Bicara komposisi hakim konstitusi, kita bicara individual hakim konstitusi yang mewarnai Mahkamah Konstitusi. Namun ketika jadi putusan, agak sulit untuk menelusuri jejak-jejak individual hakim konstitusi,” jelas Bisariyadi.
Dikatakan Bisariyadi, kalau misalnya di Amerika Serikat maupun negara-negara commonwealth, dalam putusan disebutkan nama hakim yang memberikan pendapat hukum.
“Jadi jelas nama hakimnya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki riwayat dengan sistem civil law. Di negara-negara civil law, putusannya bersifat kolektif. Putusan Mahkamah Konstitusi Jerman itu juga kolektif dan tidak akan menyebut nama-nama hakim yang menyampaikan pendapat hukum,” kata Bisariyadi.
“Kalau hakim membuat legal opinion, tidak diekspos ke publik. Tetapi menjadi satu dalam sebuah putusan,” tambah Bisariyadi.
Dijelaskan Bisariyadi, satu hal yang bisa diteliti adalah ketika hakim menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sebuah putusan. Termasuk juga ketika hakim menyatakan setuju dengan mayoritas hakim, namun punya alasan yang berbeda. “Tapi kalau menelusuri jejak-jejak pribadi hakim dalam putusan MK memang agak sulit,” tandas Bisariyadi.
Itulah sebabnya, sambung Bisariyadi, tidak mudah bagi para peneliti di MK untuk menelusuri jejak pribadi maupun pemikiran Hakim MK. Terlebih menelusuri jejak pemikiran hakim yang jarang menyatakan dissenting opinion dan sering menjadi drafter putusan.
“Bisa jadi hal ini dipengaruhi karakter civil law dari Jerman. Termasuk bisa dilihat juga jejak peninggalan dari Perancis. Struktur penulisan amar putusan Dewan Konstitusi Perancis dan Mahkamah Konstitusi Indonesia sama, ada kalimat ‘menimbang bahwa, mengingat bahwa …’,” urai Bisariyadi.
Menurut Bisariyadi, Dewan Konstitusi Perancis menarik untuk dijadikan laboratorium karena putusan-putusannya yang relatif pendek. “Bahkan putusan Dewan Konstitusi Perancis hanya 5-8 lembar. Mereka langsung menyusun putusan, sama seperti kita menyusun pertimbangan hukum,” imbuh Bisariyadi.
Dengan demikian kata Bisariyadi, ketika ada orang menganggap putusan MK Republik Indonesia begitu tebal, misalnya untuk perselisihan hasil pemilu pernah sampai 5.000 halaman, maka hal ini harus dicermati lagi.
“Harus dicek lagi, duduk perkaranya berapa halaman? Pertimbangan hukumnya berapa halaman? Justru inilah peninggalan dari civil law. Berbeda dengan putusan di negara-negara commonwealth, satu orang hakim bisa menulis sampai 30 halaman,” pungkas Bisariyadi. (Nano Tresna Arfana/LA)