JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas di Provinsi Sumatra Utara (UU Pembentukan Kabupaten Padang Lawas) pada Rabu (18/12/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregsitrasi Nomor 82/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Alamsyah Panggabean.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan Pasal 13 ayat (2) UU Pembentukan Kabupaten Padang Lawas bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 13 ayat (2) UU Pembentukan Kabupaten Padang Lawas berbunyi, “(2) Pengaturan tentang jumlah, mekanisme dan tata cara pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Melalui video conference, Alamsyah menguraikan bahwa dalam permohonannya ini frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” merupakan frasa yang tidak jelas dan multitafsir dalam pelaksanaannya. Adanya perbedaan tafsir secara yurudis, sambungnya, akan berakibat pada ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Arief Hidayat tersebut, Alamsyah juga menyebutkan bahwa kerawanan konflik yang dimaksudkan berkaitan dengan lembaga yang berwenang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud, peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk, asal wakil-wakil yang ditetapkan, serta masa keanggotaan DPRD yang ditetapkan tersebut. “Maka, frasa dalam UU a quo telah mereduksi nilai khusus yang termuat dalam UU Nomor 38 Tahun 2007 dan dapat dijadikan sebagai alat oleh pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Padang Lawas,” jelas Alamsyah.
Untuk itu, melalui Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut sepanjang frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), DN Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tidak Ada Objek
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya meminta agar Pemohon mencermati pasal yang diajukan dalam pengujian undang-undang perkara ini terutama berkaitan dengan masih berlaku atau tidaknya UU yang diujikan.
“Apakah UU ini berlaku atau tidak karena itu objek perkaranya. Andai pasal ini masih berlaku, maka pasal ini harusnya dikaitkan dengan pasal dalam UUD 1945, di mana letak pertentangannya yang juga harus diuraikan dalam posita dan alasan permohonan Pemohon,” saran Arief.
Senada dengan hal ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams pun meminta agar Pemohon mencermati keberlakuan norma yang diujikan. Ia menilai pasal yang dimohonkan ini tidak berlaku lagi. Karena, sambungnya, ada transisi yang diatur pertama kali setelah dibuatnya norma a quo. “Jadi, pikirkan lagi frasa UU ini bahwa UU yang dimohonkan sudah tidak dilaksanakan lagi oleh Pemda di sana, termasuk dalam penetapannya,” jelas Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny mengingatkan Pemohon untuk memahami sistematika serta kedudukan hukum Pemohon dalam pengajuan pengujian undang-undang ini. Bahwa terkait kedudukan hukum Pemohon yang mengajukan sebagai perseorangan warga negara, hal ini perlu dipertimbangkan kembali. Mengingat dalam ketentuannya, yang berhak mengajukan UU a quo adalah anggota dewan.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 31 Desember 2019 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)