Beberapa mekanisme penyelesaian kasus lumpur panas Sidoarjo mengisyaratkan perlunya pembuktian dalam kaedah ilmiah dan yuridis, sebelum ada penjatuhan sanksi kepada para pihak
Pandangan tersebut disampaikan Bambang Prabowo Soedarso dalam dialog interaktif mengenai penanganan lumpur Lapindo di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Rabu (09/04). Menurut pengajar hukum lingkungan pada pascasarjana Universitas Pancasila itu, langkah Pemerintah membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengindikasikan sikap yang tidak ingin judgment terlebih dahulu sebelum ada pembuktian ilmiah dan yuridis.
Asisten Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rasio Ridho Sani, sependapat dengan Soedarso dalam hal perlunya pembuktian yuridis. Yang harus dibuktikan, seperti selama ini menjadi fokus perdebatan publik, apakah lumpur Sidoarjo akibat kesalahan manusia (human error) atau fenomena alam.
Bagi Ridho Sani, jawaban atas pertanyaan itu seharusnya datang dari ahli perminyakan dan geolog, bukan dari pembuat kebijakan seperti Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Sani tak menyinggung bahwa ahli perminyakan dan geolog pun terbelah dalam menyikapi masalah ini. Sebaliknya, ia percaya bahwa semburan lumpur akan berlangsung lama, sehingga penanganannya pun selayaknya bersifat permanen.
Soedarso sendiri melihat bahwa Pemerintah masih ragu mengambil keputusan. Padahal dalam konsep negara hukum kesejahteraan, demikian Soedarso, Pemerintah harus mengambil langkah tepat dan efisien demi kesejahteraan rakyat.
Pemegang gelar magister of environmental study ini melihat langkah yang ditempuh Pemerintah belum sepenuhnya tepat. Misalnya, program pemindahan penduduk korban lumpur (resettlement). Kebijakan yang ditempuh cenderung hanya menjauhkan korban dari lumpur. Padahal para korban telah kehilangan pekerjaan dan harta benda yang puluhan tahun ditempati. Penggantian materiil semata dinilai Soedarso kurang tepat. âKonsep penggantian materiil tidak dapat mengembalikan keuntungan-keuntungan terhadap lingkungan sosial budaya yang tercipta sebelumnya,â ujarnya.
Status hukum penanganan bencana hanya salah satu roadmap yang disusun Pemerintah. Menurut Ridho Sani, masih ada aspek lain yang harus diperhatikan yaitu kelembagaan, penanganan dampak lingkungan, dan penanganan dampak sosial ekonomi. Status hukum penanganan, kata Sani, membawa konsekuensi berbeda. Jika dinyatakan lumpur Sidoarjo sebagai fenomena alam, konsekuensinya harus ada penggantian atas biaya-biaya yang tekah dikeluarkan Lapindo selama ini. Jika dinyatakan human error, maka harus ditentukan siapa yang paling bertanggung jawab.
Tim bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menyatakan bahwa lumpur Sidoarjo diakibatkan fenomena alam. Simpulan Dewan memang dikritik karena dianggap tak memiliki kapasitas dan kapabilitas memberikan penilaian yang mestinya ilmiah dan yuridis.
Dalam konteks itu, penilaian yuridis juga sudah dibuat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketika memutus gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Majelis hakim menyatakan lumpur Sidoarjo memang fenomena alam. Namun, Pius Ginting, pengkampanye sektor pertambangan dan energi Walhi, menunjuk pertimbangan berbeda dari majelis hakim di PN Jakarta Pusat. Di sini, majelis hakim menyatakan ada hubungan antara kelalaian manusia dalam pengeboran dengan munculnya semburan lumpur.
(Mys)
Sumber www.hukumonline.com
Foto http://hotmudflow.files.wordpress.com