JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 58/PUU-XVII/2019 pada Rabu (11/12/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh Faldo Maldini, Tsamara Amany, Dara Adinda Kesuma Nasution, dan Cakra Yudi Putra. Para Pemohon adalah politisi muda yang ingin berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan dilaksanakan pada 2020 dan 2022. Faldo Maldini merupakan politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang sudah melakukan persiapan untuk maju sebagai Calon Gubernur Provinsi Sumatera Barat pada 2020. Tsamara Amany (politisi PSI) sedang melakukan persiapan untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pada 2022. Dara Adinda Kesuma Nasution (politisi PSI) sedang melakukan persiapan untuk maju sebagai Calon Wali Kota Pematangsiantar pada 2020. Terakhir, Cakra Yudi Putra, politisi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia ini juga sedang melakukan persiapan untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pada 2022.
Para Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.
Persyaratan mengenai batas usia calon kepala daerah dalam ketentuan tersebut menghalangi hak para Pemohon yang mewakili golongan muda untuk maju dalam pilkada. Menurut para Pemohon, ketentuan mengenai batas usia tersebut bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) serta Pasal 28I Ayat (2) UUD Tahun 1945.
Aturan mengenai batas usia dalam pasal tersebut menurut para Pemohon justru mengurangi makna dari pemilihan yang demokratis sesuai UUD Tahun 1945. Selain itu, norma yang diujikan itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta bersikap diskriminatif. Anggapan seseorang di bawah usia 25 tahun tidak mampu menjabat sebagai kepala daerah dan tidak mampu memimpin sebaik seseorang berusia di atas 25 tahun, merupakan anggapan yang tidak tepat. Seharusnya siapa saja sepanjang warga negara dewasa yang sehat jasmani dan rohani memiliki hak untuk dipilih.
Kewenangan Pembentuk UU
Ikhwal batas usia tidak terdapat persoalan konstitusional sebab, menurut Mahkamah, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Bahkan, Mahkamah telah menegaskan pula, andaipun perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya. Hal ini pun telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah.
Pemenuhan hak atas persamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan, yang dijamin oleh Konstitusi, dalam hubungannya dengan pengisian jabatan tertentu, bukan berarti meniadakan persyaratan atau pembatasan-pembatasan yang secara rasional memang dibutuhkan oleh jabatan itu. Pembatasan demikian sejalan dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. “Mahkamah berpendapat, permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada adalah tidak beralasan menurut hokum,” tegas Palguna.
(Nano Tresna Arfana/NRA)