JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/12/2019). Pemohon perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 79/PUU-XVII/2019 ini antara lain adalah Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Melalui kuasa hukum Feri Amsari, Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara.
“Korupsi merupakan musuh bersama bangsa yang seolah kian sulit untuk diberantas. Sebab, tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa yang membutuhkan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya,” papar Feri kepada Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat (Ketua Panel), Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (masing-masing sebagai Anggota Panel).
Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh UU KPK tersebut. Padahal, secara yuridis, Pasal 50 ayat (3) UU No. 12/2011 menjelaskan bahwa DPR mulai membahas RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
Artinya, menurut para Pemohon, jika DPR dan Presiden mengharapkan hasil yang komprehensif dan responsif dari perubahan UU KPK tersebut, maka waktu 60 hari dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pembentuk undang-undang, sebab setiap pembahasan RUU dapat dipastikan menuai perdebatan panjang antara DPR dengan Pemerintah. Tetapi, khusus RUU KPK, Presiden dan DPR saat ini terkesan terburu-buru dan bersifat kilat ketika UU KPK disetujui. Kebijakan ini tentu saja berseberangan dengan prinsip kehati-hatian dan kemanfaatan dalam mewujudkan perundang-undangan yang baik.
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyinggung kuasa hukum para Pemohon. “Soal kuasa hukum tidak perlu sebanyak ini. Kalau dipajang banyak-banyak, ternyata tidak banyak juga yang hadir, itu kan menghabis-habis waktu saja. Jadi dipastikan betul, siapa yang mau mendedikasikan waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang begini? Cukup itu saja yang jadi kuasanya. Di sini ada 39 nama kuasa hukum, tapi yang hadir cuma 6 atau 7 nama saja, juga ada yang belum tanda tangan. Jadi ini pertimbangan saja. Tidak pada kuantitas sebetulnya, lebih kepada kualitas,” kata Saldi.
Sementara itu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai permohonan Pemohon sudah disusun secara baik. “Terutama karena ini permohonan khusus untuk pengujian formil, ini bisa kita lihat di perihalnya meyebut, permohonan pengujian formil. Sudah ditegaskan nyata di sana,” ujar Wahiduddin.
Selanjutnya Wahiduddin menasehati para Pemohon terkait petitum agar lebih diuraikan dan menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon. “Ini adalah petitum pengujian formil, ya. Jadi, fokus di sana dalam penguraian ini. Selain itu dalil kerugian para Pemohon harus diuraikan secara spesifik dan aktual dari kerugian masing-masing Pemohon itu,” tandas Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat mencermati kedudukan hukum para Pemohon. “Supaya diuraikan satu per satu, apakah pemohon prinsipal ini punya legal standing, mempunyai hak konstitusional yang dilanggar atau yang diabaikan dengan berlakunya undang-undang ini? Misalnya begini, Pemohon I merupakan perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai pegawai negeri yang merupakan Ketua KPK. Nah, itu kan hanya identitasnya. Belum ditunjukkan kepada kita, kenapa yang namanya Pak Agus Rahardjo ini dirugikan hak konstitusionalnya? Begitu juga berturut-turut sampai kepada Pemohon XIII,” kata Arief.
(Nano Tresna Arfana/NRA).