JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (10/12/2019). Para Pemohon perkara yang teregistrasi Nomor 81/PUU-XVII/2019 adalah Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, Julianta Sembiring, dan Yudha Adhi Oetomo.
Pasal 39 KUHP menyebutkan, “(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas; (2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang; (3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.”
Pasal 46 KUHAP menyebutkan, “(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. (2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.”
“Para Pemohon mendalilkan, ketentuan pasal Undang-Undang a quo merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan para korban tindak pidana yang tidak dikembalikan haknya karena dirampas/disita oleh pemerintah dan tidak dikembalikan kepada korban tindak pidana,” kata Pitra Romadoni Nasution salah seorang Pemohon.
Pemohon dalam hal ini menyebutkan salah satu contoh kasus terkait perampasan/penyitaan yang dilakukan hakim terhadap barang bukti pada perkara PT. First Anugerah Karya Wisata atau First Travel yang tidak dikembalikan kepada jemaah yang menjadi korban kasus penipuan umrah. Barang bukti yang disita dalam kasus tersebut adalah benda-benda yang diperoleh berdasarkan hasil tindak pidana.
Di lain pihak, jemaah yang menjadi korban First Travel jumlahnya mencapai ribuan. Terkait permohonan uji materiil ini, para Pemohon merupakan perseorangan yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat penerapan pasal tersebut dikarenakan di kemudian hari dengan pemberlakuan pasal tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada warga negara lainnya, apabila hartanya diambil oleh negara padahal posisinya adalah sebagai korban kasus First Travel.
Hak kepunyaan harta atas para korban kejahatan tersebut tidak dikembalikan kepada para korban sebagaimana bunyi amar Putusan Kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, "Bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dan disita dari para terdakwa yang telah terbukti. Selain melakukan tindak pidana penipuan, juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk negara."
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan para Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan agar para Pemohon mempertimbangkan adanya tambahan orang yang benar-benar dirugikan dengan adanya ketentuan yang diujikan. “Apakah Pemohon cukup Anda ataukah masih memerlukan orang yang terpapar dirugikan oleh ketentuan yang diujikan para Pemohon. Karena orang yang potensial dirugikan jauh lebih rumit mengemukakan dalil kerugian konstitusional dibandingkan dengan orang yang secara faktual dirugikan,” tegas Saldi.
Sementara itu Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan para Pemohon agar melengkapi nomor dan tahun Undang-Undang yang diuji. “Yang Anda ujikan adalah KUHP dan KUHAP. Ini kan bahasa popular. Anda tolong lengkapi dalam permohonan ini. KUHP dan KUHAP yang Anda uji itu undang-undang nomor berapa? Begitu juga penulisan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 harus lengkap,” ujar Arief.
Selain itu Arief menasehati para Pemohon agar menjelaskan kedudukan hukum para Pemohon. “Dari empat Pemohon ini mempunyai kerugian potensial atau kerugian aktual? Anda jelaskan dalam permohonan,” kata Arief mempertanyakan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul ingin menegaskan identitas para Pemohon. “Apakah benar semua Pemohon berprofesi sebagai advokat? Karena saya melihat ada satu identitas Pemohon bekerja sebagai wiraswastawan,” ucap Manahan. Pemohon tersebut menjelaskan dirinya selain sebagai wiraswastawan, juga menjadi advokat.
(Nano Tresna Arfana/NRA).