KEP. ANAMBAS, HUMAS MKRI - Indonesia yang secara geopolitik merupakan negara kepulauan memiliki kesukaran dalam menjaga seluruh wilayah teritorinya, jika hanya mengandalkan pemerintah pusat semata. Menjaga teritorial Indonesia, menjadi kewajiban warga negara Indonesia sebagai anak bangsa untuk melaksanakannya, utamanya bagi pemerintah daerah setempat.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam kegiatan Seminar Konstitusi Bagi Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, pada Rabu (4/12/2019) siang. Seminar tersebut mengangkat tema “Strategi Membumikan Konstitusi di Perbatasan NKRI” yang diselenggarakan dalam rangka membuka wawasan semua tentang pentingnya memahami, menjaga konstitusi, serta melaksanakannya, demi menjaga keberlangsungan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Sebagaimana dahulu kita pelajari di dalam ilmu negara, bahwa keberadaan suatu negara diakui jika memenuhi 3 unsur dasar, yaitu penduduk, wilayah, dan pengakuan dari negara lain. Dua unsur pertama merupakan unsur yang bersifat internal (persoalan nasional), dan unsur yang kedua merupakan persoalan eksternal (hubungan internasional/antarnegara).
“Membumikan konstitusi di wilayah perbatasan sebagaimana tema Seminar kita hari ini, tentu mencakup dua unsur sebagaimana tersebut di atas. Karena baik persoalan penduduk, wilayah, dan hubungan internasional, kesemuanya diatur di dalam konstitusi kita. Hal tersebut secara jelas tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-empat,” jelas Anwar dalam seminar yang dihadiri oleh Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Anambas Wan Zuhendra tersebut.
Menurut Anwar, amanah Pembukaan UUD 1945 di atas, merupakan kewajiban masyarakat Indonesia sebagai anak bangsa untuk melaksanakannya, terutama khususnya bagi penyelenggara negara/lembaga pemerintahan. Dalam konteks seminar ini, lanjutnya, melaksanakan konstitusi, sama halnya dengan menjaga kedaulatan dan wilayah teritorial negara.
“Peristiwa lepasnya sipadan dan ligitan melalui Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 2002, harus dijadikan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Meski persoalan tersebut, pada waktu itu telah menjadi domain pemerintah pusat, hal tersebut tidak boleh lagi terjadi di masa yang akan datang. Kita semua sebagai anak bangsa, memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga setiap jengkal kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Anwar menjelaskan tentang kewenangan judicial review yang melekat pada MK. Hal ini bertujuan agar setiap warga negara dapat melindungi hak konstitusionalnya, manakala terdapat suatu kebijakan berupa UU yang melanggar hak konstitusionalnya. Kewenangan yang melekat pada Mahkamah Konstitusi jika dicermati, pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyeimbangkan dominasi kepentingan politik dalam sistem negara demokrasi dari adanya pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negaranya.
Dalam kewenangan pengujian undang-undang/PUU (judicial review) di MK, setiap warga negara memiliki hak untuk melakukan PUU manakala ia merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu UU. Dapat dibayangkan, dengan adanya perubahan UUD 1945 buah dari reformasi, kedudukan seorang warga negara begitu sangat dilindungi dan dihargai. Suatu UU yang dibuat dan disusun oleh 560 orang anggota DPR (saat ini 575) bersama Presiden beserta jajarannya, dapat dibatalkan hanya oleh karena permohonan seorang warga negara kepada MK.
“Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi setiap warga negara, untuk memahami hak-hak konstitusionalnya. Karena manakala terjadi pelanggaran hak konstitusional yang menimpanya, maka ia mengetahui dan memahami langkah apa yang harus ditempuh, untuk melindungi hak konsitusionalnya yang terlanggar. Untuk itulah, mengapa kegiatan peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara, menjadi penting adanya,” tandasnya. (Agung S/LA)