JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Kamis (28/11/2019). Perkara Nomor 28/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa (Pemohon I) dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon II).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menyatakan benar bahwa Mahkamah sebagai penafsir konstitusi. Namun, apabila merujuk pada dalil para Pemohon yang menyatakan pengaduan konstitusional adalah bagian dari pengujian undang-undang sehingga Mahkamah dapat memperluas kewenangannya, maka Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut tidak dilakukan oleh MK sebagai kegiatan tersendiri. Dengan kata lain, Mahkamah tetap harus menjalankan peran penafsiran konstitusinya tersebut bersamaan dengan pelaksanaan kewenangannya mengadili perkara-perkara konstitusi yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangannya. Sehingga, melalui putusan-putusan MK atas kasus-kasus yang berada dalam lingkup kewenangannya itulah kemudian ditemukan penafsiran MK yang juga didasarkan atas elaborasinya terhadap pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian, sambung Suhartoyo, dalam menafsirkan konstitusi, MK dibatasi oleh kewenangan yang dimilikinya. Meskipun kewenangan itu sendiri juga tunduk pada penafsiran MK yang oleh konstitusi juga tidak diberikan pengertian dan batas-batas yang tegas dari kewenangan dimaksud.
“Prinsip supremasi pengadilan ini diterima dalam penafsiran konstitusi. Karena jika semua lembaga negara sama-sama diberi kewenangan untuk menafsirkan masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi, maka yang akan terjadi adalah pertengkaran atau pertikaian politik tanpa akhir,” ucap Suhartoyo dalam membacakan pertimbangan hukum dalam sidang Pengucapan Putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Penambahan Norma Baru
Sehubungan dengan pernyataan para Pemohon yang menyatakan pengaduan konstitusional merupakan bagian dari pengujian undang-undang, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjabarkan bahwa secara akademik pernyataan ini juga benar adanya. Sebab, baik pengujian konstitusionalitas undang-undang maupun pengaduan konstitusional pada dasarnya adalah bagian dari pengujian konstitusional, yang merupakan fungsi utama MK di mana pun di dunia. Dari fungsi constitutional review ini, sambung Saldi, diturunkan dua tugas utama MK yakni menjaga bekerjanya mekanisme “checks and balances” antarcabang kekuasaan negara dan melindungi hak-hak individu warga negara dari kemungkinan pelanggaran oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Bertalian dengan hal ini, jika dirunut ke dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, maka bagian dari tugas para pembentuk undang-undanglah yang berkewajiban membuat interpretasi resmi terhadap sebuah undnag-undangg yang dibuatnya. Sehingga, dengan adanya tambahan pemaknaan yang diminta para Pemohon agar MK memiliki kewenangan dalam hal pengaduan konstitusional tersebut, maka hal demikian dapat dikategorikan sebagai penambahan norma baru. “Maka telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam pokok permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Saldi. (Sri Pujianti/LA)