JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan Pemuda Cinta Pancasila terkait pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Putusan Nomor 53/PUU-XVII/2019 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Kamis (28/11/2019) di Ruang Sidang Pleno.
Sebelumnya, Pemohon yang diwakili oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mendalilkan adanya satu hambatan terbesar dalam meningkatkan kesadaran terhadap Pancasila, yaitu menghadapi orang-orang yang ingin mengganti Pancasila menguji Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 1/1946 yang berbunyi sebagai berikut: “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Menurut pemohon, saat ini, tidak ada aturan hukum yang melarang siapapun untuk mengampanyekan mengganti Pancasila dengan ideologi lain apapun, kecuali Marxisme-Leninisme. Akibatnya, terdapat pemikiran untuk mengganti Pancasila, baik itu dengan liberalisme maupun khilafah. Ia berpendapat bahwa seluruh pasal yang diuji ketentuan sanksi pidana terpusat pada pengaturan akan penyebaran paham komunisme/Marxisme-Leninisme, padahal ancaman mengganti Pancasila tidak lagi hanya datang dari paham tersebut namun juga datang dari paham-paham lainnya.
Terkait permohonan tersebut, Mahkamah memberikan pendapat yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai a Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas kualifikasinya sebagai Pemohon, sebab selain Pemohon mengkualifikasi dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemohon juga mengklaim mewakili generasinya sendiri dan generasi yang belum lahir. “Sehingga menjadi tidak jelas dalam kualifikasi apa sesungguhnya Pemohon memosisikan kedudukan hukumnya dalam menjelaskan anggapannya perihal kerugian hak konstitusionalnya. Sebab, Pemohon di satu sisi menjelaskan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan sekaligus di sisi lain memosisikan mewakili ‘generasinya sendiri dan generasi yang belum lahir’,” ujar Palguna.
Palguna melanjutkan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, seseorang tidak serta-merta dapat mewakili orang atau pihak lain tanpa didasari surat kuasa khusus untuk itu, kecuali bagi orang tua yang bertindak untuk kepentingan anaknya yang belum memenuhi syarat kecakapan bertindak dalam hukum. Berbeda halnya jika Pemohon secara tegas menjelaskan kualifikasinya hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia.
“Dengan demikian, sepanjang kualifikasi Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan sekaligus klaim mewakili generasinya sendiri dan generasi yang belum lahir, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo,” tandas Palguna. (Lulu Anjarsari)