JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat diterima permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perdagangan (UU Perdagangan). Putusan Nomor 16/PUU-XVII/2019 dibacakan dalam sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (28/11/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini dimohonkan Reza Aldo Agusta yang merupakan mahasiswa semester 4 Unika Atmajaya mendalilkan masuknya pendidikan sebagai jasa perdagangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perdagangan dinilai melanggar hak konstitusionalnya untuk memperoleh pendidikan sesuai UUD 1945.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan bahwa Mahkamah tidak menemukan korelasi kerugian konstitusional sehubungan dengan kenaikan biaya pendidikan yang dianggap tinggi oleh Pemohon sebagaimana akibat dari berlakunya pasal a quo, yang menjadikan seluruh bentuk jasa pendidikan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dengan tujuan untuk mencari keuntungan.
Lebih lanjut Enny menguraikan, bahwa dalam pernyataannya Pemohon menyebutkan kenaikan biaya pendidikan tidak berpengaruh secara langsung terhadap Pemohon. Karena pihak universitas telah menyediakan skema beasiswa secara penuh untuk menyelesaikan pendidikan bagi Pemohon. “Oleh karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional Pemohon, baik aktual maupun potensial. Sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo,” ucap Enny saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Negara Buat Perlindungan
Enny melanjutkan merujuk pada ketentuan norma tersebut yang menjadikan jasa pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan, Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut tidak serta-merta membuat pendidikan dapat dijadikan sebagai private goods. Karena, jelas Enny, dengan adanya ketentuan yang memasukkan pendidikan ke dalam ruang lingkup jasa yang dapat diperdagangkan, maka tidak berarti Pemerintah dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya. Karena sebagai jasa yang dapat diperdagangkan, dalam penyelenggaraan jasa pendidikan haruslah tunduk pada regulasi pendidikan nasional.
“Sebagaimana dalam perdagangan barang atau jasa lainnya, negara dapat membuat perlindungan hukum atau proteksi dengan instrumen regulasi dalam bidang kependidikan yang memberi pedoman dan panduan untuk menyelenggarakan pendidikan,” ujar Enny.
Adapun dalil Pemohon bahwa Pasal 4 ayat (2) UU Perdagangan yang menyatakan telah terjadi dualisme sistem pendidikan di Indonesia sehingga memunculkan konflik antara tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan dan perdagangan, maka Mahkamah berpendapat regulasi perdagangan yang berkaitan dengan norma yang diujikan ini, tidaklah berdiri sendiri, tetapi berkait erat dengan peraturan perundang-undangan lain seperti UU Sisdiknas. “Sekalipun jasa pendidikan dapat diperdagangkan, namun pendidikan tidak tunduk pada rezim perdagangan karena tetap berada dalam rezim sistem pendidikan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang Enny. (Sri Pujianti/LA)