JAKARTA, HUMAS MKRI- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan oleh Heriyanto (Pemohon I) dinyatakan gugur. Sedangkan yang diajukan Ramdansyah (Pemohon II) tidak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon I gugur. Menyatakan permohonan Pemohon II tidak dapat diterima,” tegas Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 29/PUU-XVII/2019 pada Kamis (28/11/2019).
Para Pemohon sehari-hari bekerja di bidang kepemiluan. Mereka menguji Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 523 dan Pasal 488 UU Pemilu. Menurut para Pemohon, Pasal 473 ayat (2) tidak membuka ruang perselisihan hasil berupa perselisihan ambang batas dan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah mengungkap bahwa Pemohon I tidak menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi pada Rabu 24 April 2019, dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon. Selain itu, Pemohon I juga tidak menghadiri sidang kedua yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi pada Kamis 9 Mei 2019 dengan agenda perbaikan permohonan Pemohon. Pemohon I melalui Pemohon II hanya mengirimkan Surat Tugas Nomor 122/ST/Adv.BPN/PS/IV/2019 yang menurut Mahkamah surat tersebut tidak ada kaitannya dengan pokok permohonan Pemohon.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemohon I dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan pengujian Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, dan Pasal 533 UU Pemilu terhadap UUD 1945 ke Mahkamah. Karena itulah Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut sepanjang berkaitan dengan Pemohon I dan permohonan dinyatakan gugur.
Sedangkan terkait Pemohon II, Arief menyebut Mahkamah juga mempertimbangkan Pemohon II yang mendalilkan sebagai peneliti independen dan penggiat yang menggeluti bidang pemilu dan dibuktikan dengan hasil penelitian yang dibukukan dengan judul “Sisi Gelap Pemilu 2009” yang diterbitkan Penerbit Rumah Demokrasi, Jakarta Tahun 2010. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU Pemilu yang diuji ke MK.
Menurut Mahkamah, lanjut Arief, Pemohon II tidak mampu menguraikan secara spesifik hak konstitusionalnya yang menurut Pemohon II dianggap dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal a quo yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, di mana kerugian dimaksud jelas hubungan kausalnya, baik secara aktual maupun potensial, dengan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu dengan sendirinya syarat bahwa “jika permohonan Pemohon a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi” tidak terpenuhi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pokok permohonan Pemohon II pun tidak dipertimbangkan lebih lanjut. (Nano Tresna Arfana/LA)