JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengelola lembaga perguruan tinggi tidaklah terkait langsung dengan UU Dikti karena pemilihan seseorang menjadi pengelola lembaga perguruan tinggi sejatinya diatur dalam statuta masing-masing perguruan tinggi. Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan uji materiil pasal 65 ayat (3) huruf b frasa “mandiri” Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Putusan dengan Nomor 31/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Ikhsan Prasetya Fitriansyah.
“Menyatakan permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Menolak permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 62 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,” ucap Anwar didampingi oleh hakim konstitusi lainnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Materiil Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti terutama frasa “mandiri” dan Pasal 68 terutama frasa “ketentuan lebih lanjut”. Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti menyatakan, “PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: a. … b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri”. Sementara Pasal 68 UU Dikti berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.” UU Dikti mengatur bentuk penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi negeri yang salah satunya ditandai dengan tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri. Hal ini pun tercantum dalam Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti. Namun dua orang, yakni Erick Thohir dan Saleh Hussin memiliki afiliasi dengan partai politik dan politisi tertentu dipilih menjadi anggota MWA Universitas Indonesia (UI). Keberadaan kedua orang tersebut di MWA perguruan tinggi terkait telah menunjukkan intervensi politisi dalam institusi pendidikan yang seharusnya tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan pasal 65 ayat (3) huruf b UU Pendidikan Tinggi konstitusional sepanjang frasa “mandiri” dimaknai salah satunya dengan “pengelola dan pengambil keputusan tidak memiliki afiliasi politik selama satu tahun sebelumnya baik dengan menjadi anggota partai politik maupun menjadi tim sukses dari politisi manapun. Pemohon juga meminta menyatakan pasal 68 UU Pendidikan Tinggi tetap konstitusional sepanjang frasa “ketentuan lebih lanjut” dimaknai dengan “ketentuan yang bertentangan dan tindakan hukum yang lahir sebagai akibat ketentuan tersebut menjadi batal demi hukum, terutama dalam hal Pengelolaan dan Pengambil Keputusan di di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah menyebut Statuta UI diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia dan Statuta UGM diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Gadjah Mada. Kedua statuta dimaksud dibentuk sebagai peraturan dasar Pengelolaan Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di kedua Perguruan Tinggi dimaksud. Artinya, larangan berkenaan dengan afiliasi politik atau kepentingan tertentu pengelola lembaga perguruan tinggi bukanlah merupakan substansi undang-undang melainkan substansi yang dapat saja dimuat pada masing-masing statuta perguruan tinggi.
“Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon mengenai frasa ‘mengelola sendiri lembaganya’ dalam Pasal 62 ayat (1) UU Dikti 26 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘pengelola lembaga Perguruan Tinggi tidak memiliki afiliasi politik atau kepentingan tertentu’ adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Wahiduddin.
Kemudian terkait norma Pasal 65 UU Dikti pernah diuji oleh Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-X/2012 bertanggal 12 Desember 2013 dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dengan demikian pada dasarnya, lanjut Wahiduddin, tidak ada persoalan konstitusional terkait norma yang tercantum dalam Pasal 65 UU Dikti dimaksud. Apabila permohonan para Pemohon dikabulkan, hal demikian berarti Mahkamah membenarkan adanya norma baru dalam penjelasan pasal a quo.
“Dengan demikian, permohonan para Pemohon yang meminta agar Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti dimaknai “yang dimaksud mandiri adalah pengelola PTN Badan Hukum tidak memiliki afiliasi politik atau kepentingan tertentu” adalah menjadi tidak beralasan menurut hukum,” tandas Wahiduddin. (Lulu Anjarsari)