JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah mengalami perubahan yang terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (8) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN Barang Mewah) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/11/2019).
Kuasa hukum Pemohon, Syawaludin menyampaikan sejumlah perbaikan kepada Panel Hakim terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo (Ketua), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota).
“Sesuai dengan nasihat Yang Mulia pada persidangan sebelumnya, kita fokus yang diuji adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berikutnya yang diuji adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang, dan Jasa, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,” urai Syawaludin.
Kuasa hukum Pemohon berikutnya, Zenitha Syafira memaparkan persandingan permohonan Nomor 68/PUU-XVII/2019 dengan permohonan yang pernah diuji di MK sebelumnya, yaitu permohonan Nomor 13/PUU-XIV/2016.
“Terdapat perbedaan antara pengujian undang-undang Nomor 13/PUU-XIV/2016 dengan pengujian undang-undang Nomor 68/PUU-XVII/2019 a quo. Perbedaannya bahwa dalam Pengujian Undang-Undang PKP yang mendaftar atau inisiatif sendiri yang secara jabatan bisa ditarik lima tahun kewajiban perpajakannya. Sementara yang mendaftar sendiri, kewajiban perpajakannya dimulai dari tanggal ditetapkan oleh DJP dan tidak bisa ditarik mundur kewajiban perpajakannya,” ungkap Zenitha.
Sedangkan penekanan permohonan Nomor 68/PUU-XVII/2019, kata Zenitha, Pemohon meminta bila PKP ditarik mundur lima tahun kewajiban perpajakannya harus seimbang antara hak dan kewajibannya. Artinya, hak PKP untuk mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masukannya dengan PPN keluaran harus juga diakui dalam kewajiban perpajakan yang berlaku surut tersebut.
Sebagaimana diketahui, perkara Nomor 68/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh PT PT. Wira Pratama Gasindo. Tim kuasa hukum Pemohon, Syawaludin dkk dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (13/11/2019) menerangkan Pemohon adalah badan hukum privat dan pembayar wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty dan telah melaporkan seluruh harta kekayaan pada kantor pelayanan pajak. Namun Pemohon telah dirugikan secara potensial hak konstitusionalnya untuk mendapat keadilan dan kepastian hukum atas berlakunya ketentuan tidak diakuinya pajak masukan dari SPT Badan Pemohon sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Terhadap hal tersebut, Pemohon telah mengajukan keberatan. Pemohon adalah agen LPG (nonsubsidi) dari PT. Pertamina dan telah membayar PPN Masukan selama tahun 2016. Pemohon tidak pernah memungut PPN Keluaran dari pembeli LPG (nonsubsidi) ketika sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, PPN Kurang Bayar yang didasarkan dari Nilai Peredaran Bruto yang harus memungut PPN-nya sendiri, secara faktual berarti harus ditanggung dan disetorkan oleh Pemohon.
Pasal 2 ayat (4a) menyebutkan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.”
Pasal 9 ayat (2) UU PPN & PPnBM menyebutkan, “Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.” Sedangkan Pasal 9 ayat (8) huruf a menyebutkan, “Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ...”
Pemohon mendalilkan, Pasal 2 ayat (4a) UU KUP mengandung ketidakadilan yang nyata karena hanya menyatakan “kewajiban perpajakan” Wajib Pajak yang dikukuhkan sebagai PKP ditarik mundur paling lama 5 (lima) tahun. Padahal Wajib Pajak tersebut mempunyai “hak perpajakan” tersendiri sehingga ketika ditarik mundur paling lama 5 (lima) tahun, seharusnya berlaku sama untuk Hak dan Kewajiban Perpajakan dari PKP.
“Oleh karena itu, agar tercipta keadilan dan kepastian hukum yang adil, Pasal 2 ayat (4a) UU KUP harus ditafsirkan hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama lima tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak,” papar Syawaludin salah seorang kuasa hukum Pemohon.
(Nano Tresna Arfana/NRA)