JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah mengalami perubahan yang terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (8) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN & PPnBM) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/11/2019).
Sidang perkara Nomor 68/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh PT PT. Wira Pratama Gasindo ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo (Ketua Panel), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota Panel).
Tim kuasa hukum Pemohon, Syawaludin dkk menerangkan Pemohon adalah badan hukum privat dan pembayar wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty dan telah melaporkan seluruh harta kekayaan pada kantor pelayanan pajak. Namun Pemohon telah dirugikan secara potensial hak konstitusionalnya untuk mendapat keadilan dan kepastian hukum atas berlakunya ketentuan tidak diakuinya pajak masukan dari SPT Badan Pemohon sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Terhadap hal tersebut, Pemohon telah mengajukan keberatan. Pemohon adalah agen LPG (nonsubsidi) dari PT. Pertamina dan telah membayar PPN Masukan selama tahun 2016. Pemohon tidak pernah memungut PPN Keluaran dari pembeli LPG (nonsubsidi) ketika sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, PPN Kurang Bayar yang didasarkan dari Nilai Peredaran Bruto yang harus memungut PPN-nya sendiri, secara faktual berarti harus ditanggung dan disetorkan oleh Pemohon.
Pasal 2 ayat (4a) menyebutkan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.”
Pasal 9 ayat (2) UU PPN & PPnBM menyebutkan, “Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.” Sedangkan Pasal 9 ayat (8) huruf a menyebutkan, “Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ...”
Pemohon mendalilkan, Pasal 2 ayat (4a) UU KUP mengandung ketidakadilan yang nyata karena hanya menyatakan “kewajiban perpajakan” Wajib Pajak yang dikukuhkan sebagai PKP ditarik mundur paling lama 5 (lima) tahun. Padahal Wajib Pajak tersebut mempunyai “hak perpajakan” tersendiri sehingga ketika ditarik mundur paling lama 5 (lima) tahun, seharusnya berlaku sama untuk Hak dan Kewajiban Perpajakan dari PKP.
“Oleh karena itu, agar tercipta keadilan dan kepastian hukum yang adil, Pasal 2 ayat (4a) UU KUP harus ditafsirkan hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama lima tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak,” papar Syawaludin salah seorang kuasa hukum Pemohon.
Menurut Pemohon, Pajak Masukan adalah PPN yang dibayarkan oleh wajib pajak dan atau PKP kepada penjual ketika membeli barang dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dalam daerah pabean. Pajak Keluaran adalah PPN yang dipungut/diambil oleh PKP dari pembeli ketika menjual barang dan atau JKP dalam daerah pabean. Aturan pengkreditan tersebut baru berlaku setelah pengusaha dikukuhkan sebagai PKP dan ketika dilakukan penarikan mundur (retroactive) kewajiban perpajakan PKP, Pajak Masukan PKP tidak diakui.
Bila Hak Perpajakan Retroactive PKP diakui, Pemohon khawatir Pajak Masukan yang bisa dikreditkan hanya bulan Desember saja. Karena secara teknis menurut Pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penghitungan kewajiban perpajakan PKP pada tahun tertentu sebelum dikukuhkan sebagai PKP ditentukan dari suatu tahun pajak kepada masa pajak tertentu yaitu biasanya pajak bulan Desember, sehingga Pajak Masukan bulan Januari dan November tidak dapat dikreditkan.
Kewajiban wajib pajak selaku PKP yang harus disetorkan kepada negara adalah nilai bersih dari Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan. Sedangkan wajib pajak sebelum dikukuhkan sebagai PKP, Pajak Masukan yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada pembeli yang memungutnya tidak dapat dikreditkan (tidak dapat dikurangi) dari Pajak Keluaran yang diterimanya. Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan perlakuan pajak antar hak dan kewajiban sebelum dan setelah dikukuhkan sebagai PKP.
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti perihal UU No. 6 Tahun 1983 sebagai objek untuk dilakukan pengujian Undang-Undang. “Apakah Anda sudah membaca Undang-Undang yang diuji secara cermat? Apakah ada Pasal 2 ayat (4a) dalam Undang-Undang itu? Memang agak sulit memahami Undang-Undang Perpajakan karena perubahannya banyak sekali. Dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Saya buka semua Undang-Undang Perpajakan tersebut, ternyata Pasal 2 ayat (4a) ada di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Coba Anda cross check, karena ini menyangkut objek dan penting sekali. Kalau tidak jelas objeknya, susah kita memahami yang mana sebenarnya objek yang akan Anda uji,” ujar Enny.
Sementara itu Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai adanya kekurangcermatan dalam menyusun permohonan pengujian undang-undang. “Padahal kuasa hukumnya sampai 14 orang. Semestinya tidak perlu ada lagi kesalahan dalam penulisan, apalagi dalam penulisan undang-undang. Intinya di halaman 2 permohonan Anda, nomor undang-undangnya saja berseliweran, ada nomor yang sama tapi undang-undangnya beda. Itu saja sudah kelihatan,” ungkap Manahan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan agar Pemohon lebih jelas soal pasal yang diuji. “Saya tambahkan sedikit bahwa memang harus jelas dulu sebenarnya yang Anda uji itu pasal-pasal tersebut itu di undang-undang nomor berapa? Nanti disisir lagi. Kalau Anda memang firm dengan pasal di undang-undang itu, silakan. Tapi Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara terhadap Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dengan banyak pertimbangan di sini bahwa memang persoalan pemberlakuan surut terhadap PKP yang sebenarnya sudah diberi ruang untuk asesmen,” urai Suhartoyo.
(Nano Tresna Arfana/NRA)