JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakian Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Senin (25/11/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi Nomor 66/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pada sidang perbaikan permohonan ini, Sidik selaku Pemohon yang berprofesi sebagai advokat menyampaikan telah melakukan perubahan pada perihal permohonan yakni pengujian formil. Kemudian pihaknya memasukkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Selain itu, para pemohon juga menegaskan mengenai jangka waktu bagi Pemohon untuk dapat mengajukan permohonan pengujian formil atas suatu UU, yaitu 45 hari terhitung setelah UU tersebut dimuat dalam lembaran negara. Serta menguraikan tautan kepentingan Pemohon dengan UU yang dimohonkan pengujian formalitasnya. Hal ini sebagaimana disarankan oleh Panel Hakim Konstitusi pada persidangan Pemeriksaan Pendahuluan, Senin (11/11/2019).
Pada persidangan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut, Sidik selaku Pemohon I dalam sidang mengatakan bahwa kerugian konstitusionalnya lebih menitikberatkan pada mandat yang diberikan oleh Pemohon/warga negara perorangan kepada DPR agar melaksanakan tugasnya secara adil, jujur dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. “Pemberian mandat tersebut tidaklah sekali-kali kedaulatan rakyat telah dialihkan kepada DPR RI, kedaulatan tetap berada ditangan rakyat” ujarnya.
Kerugian konstitusional dalam pengujian formil terbukti ada apabila Pemohon merasa DPR telah tidak melaksanakan fiduciary duty yang telah diamanatkan oleh rakyat secara adil, fair, jujur dan bertanggung jawab, padahal Pemohon telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum.
Menurutnya, dalam UUD 1945 tidak diatur lebih lanjut selain daripada keharusan adanya persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Jika semata-mata formalitas pembentukan undang-undang diuji formalitasnya berdasarkan UUD 1945 tersebut, tentunya semua undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak akan pernah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, tidak akan pernah ada pengujian formil atas suatu undang-undang karena faktanya setiap undang-undang yang telah diundangkan selalu memperoleh persetujuan dari kedua lembaga negara tersebut.
Selain itu, dia mengatakan, UU Perubahan Ketiga UU MD3 dibentuk dengan melanggar prosedur dan tata cara sebagaimana telah ditentukan dan diatur dalam Tatib DPR. Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 tidak dimuat dalam Prolegnas 2015-2019 maupun Prolegnas Prioritas tahun 2019. Jika Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 diajukan di luar Prolegnas, maka rancangan itu hanya dapat diajukan oleh DPR dan Presiden
Sidik menilai perubahan muatan dalam Pasal 15 tidak didorong oleh kebutuhan mengisi kekosongan hukum atau keadaan genting. Sebaliknya, hal tersebut dipandang Para Pemohon cenderung mengakomodasi kepentingan politik dari partai-partai politik; memberikan setiap fraksi partai politik satu posisi Pimpinan MPR RI, yaitu Ketua atau Wakil Ketua.
Dalam permohonannya, Para Pemohon juga berargumen bahwa UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak didukung oleh naskah akademik yang mumpuni secara sosiologis dan filosofis. Pemohon berkesimpulan, Perubahan Ketiga UU MD3 tidak memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan atau dengan kata lain cacat prosedur.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, menyatakan UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Utami/NRA)