SEMARANG, HUMAS MKRI - Konstitusi merupakan syarat mutlak keberlangsungan suatu negara karena konstitusi memuat sendi-sendi untuk menegakkan bangunan negara. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo yang memberikan ceramah kunci yang bertajuk Dinamika Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Hukum dan Persatuan Bangsa. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada Jumat (22/11/2019) di UNNES, Semarang.
Dalam konstitusi, lanjut Suhartoyo, dimuat nilai dan norma yang disepakati bersama seluruh warga negara untuk dijadikan rujukan tertinggi dalam bernegara. Dalam kerangka itulah, undang-undang dasar biasa disebut sebagai kontrak sosial atau perjanjian bersama. Ia juga menjelaskan nilai dasar ketuhanan dalam Pasal 29 UUD 1945 harus dimaknai bahwa negara menjamin dan mengatur hubungan antar umat beragama agar tidak mengganggu kehidupan bernegara. Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia tetapi yang lebih pasti, negara berhak pula untuk mewajibkan penganut agama apapun itu, untuk bersatu membangun negara dan bangsa.
“Oleh karenanya, kebebasan beragama dalam nilai dasar dalam konstitusi, tidak sekedar berkutat pada persoalan apakah agama itu benar atau salah, melainkan termaktub juga kesediaan untuk menghargai dan menerima keberadaan orang lain yang berbeda keyakinan,” ujar Suhartoyo di hadapan civitas akademika UNNES.
Suhartoyo juga menjelaskan begitu banyak gagasan muncul bahwa perihal agama atau penodaan agama tidak perlu diatur oleh negara. Atau dengan kata lain, negara tidak semestinya mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Malah ada yang berkata kehidupan agama di Indonesia lebih baik bila tanpa melibatkan atau diatur negara. Artinya, lanjut Suhartoyo, negara tidak perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik. Argumen yang mendukung gagasan itu, negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
Selanjutnya, Suhartoyo menambahkan Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan mengakui kebebasan beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat. Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap diperlukan. Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Protokol MK Heru Setiawan mewakili Sekretaris Jenderal MK, menyampaikan seminar nasional mengusung tema “Dinamika Relasi Negara dan Agama dalam Pespektif Hukum dan Persatuan Bangsa”. Tema seminar nasional ini sangat menarik, tentu karena bahasan mengenai dinamika relasi negara dan agama nampaknya akan selalu menjadi diskursus aktual dan kontemporer. Terlebih lagi, jika pembahasan mengambil sudut pandang dari perspektif hukum dan persatuan bangsa. Artinya, tinjauan terhadap relasi negara agama dilakukan dengan pijakan dan orientasi untuk mengedepankan kesamaan titik pandang bahwa persatuan Indonesia merupakan hal yang niscaya untuk diperjuangkan dan dipertahankan.
“Atas dasar itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, sebagai penjaga demokrasi, memiliki komitmen dan intensi kuat untuk mengajak semua komponen negara, termasuk perguruan tinggi, untuk turut berkontribusi, bersinergi, dan berkolaborasi mewujudkan relasi negara dan agama yang sejalan atau sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945. Akan ada banyak gagasan dan perspektif yang dapat dikemukakan pada seminar nasional ini,” tandas Heru. (Lulu Anjarsari)