JEMBER, HUMAS MKRI - Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi adalah melalui optimalisasi kualitas pemilihan umum. Sedangkan salah satu bentuk kendali guna memastikan bahwa terlaksananya pemilihan umum dengan baik adalah melalui penanganan sengketa pemilihan umum.
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang menjadi narasumber dalam acara kuliah umum yang mengangkat tema “Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi”. Kegiatan tersebut digelar pada Kamis (21/11/2019) di Universitas Moch. Sroedji, Jember, Jawa Timur.
“Tidak dapat dipungkiri, setiap kontes pemungutan suara selalu saja akan terjadi sejumlah masalah. Masalah ini dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu (1) pelanggaran administratif, (2) pelanggaran tindak pidana, (3) masalah sengketa hasil penghitungan suara,” jelasnya di hadapan peserta kuliah umum.
Secara spesifik, Wahiduddin menyebut salah satu kewenangan MK, yakni menangani sengketa hasil perolehan suara. Hal ini, lanjutnya, termasuk perkara yang krusial karena menentukan pilihan politik rakyat yang akan direpresentasikan melalui struktur parlemen dan pemerintahan. Wahiduddin menjelaskan permasalahan mengenai sengketa hasil pemilihan umum merupakan perkara konstitusional (constitutional case) di sejumlah negara, seperti di Amerika Serikat. Kasus Bush v. Gore, yang mencuat berkaitan dengan pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2000 merupakan salah satu contoh adanya sengketa hasil penghitungan suara.
“Di Indonesia, mekanisme yang dipilih berdasarkan UUD 1945 adalah memberikan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepada Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat untuk seluruh kewenangannya, termasuk kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi yang digadang sebagai penjaga Konstitusi (the guardian of the Constitution) merupakan lembaga yang dianggap tepat untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum,” paparnya.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, MK harus memastikan bahwa pelaksanaan hak untuk dipilih dan hak untuk memilih dalam penyelenggaraan pemilihan umum telah ditegakkan dan kerugian hak konstitusional warga akibat adanya pelanggaran dalam pemilihan umum harus dilindungi.
“Satu suara dari seorang warga negara dalam pemilihan umum sangat menentukan. Kecenderungan penggunaan kata selisih dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah dalam pengertian ‘beda atau kelainan yang tidak banyak’ karena berkaitan dengan angka-angka hasil akhir penghitungan suara pemilihan umum. Dengan demikian, untuk menjamin perlindungan hak suara yang diberikan oleh warga negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi mengadili perkara-perkara perselisihan hasil pemilihan umum,” urainya.
Dalam kesempatan itu, Wahiduddin juga menyampaikan bahwa bahwa masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang baik. “Saya yakin keberagaman kita akan terjaga tanpa terpecah dalam kubu-kubu, terkotak-kotakkan karena adanya pemilu. Modal sosial inilah yang akan mempererat persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa,” tandasnya.
Bersamaan dengan kuliah umum, MK juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Universitas Moch. Sroedji tentang Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara dan Mutu Pendidikan Tinggi Hukum. Kepala Biro Hukum dan Administrasi Perkara MK Wiryanto menyebut melalui penandatanganan nota kesepahaman tersebut, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, sebagai penjaga demokrasi, memiliki komitmen dan intensi kuat untuk mengajak semua komponen negara, termasuk perguruan tinggi, untuk turut berkontribusi, bersinergi, dan berkolaborasi mewujudkan tegaknya hak konstitusional warga negara sebagaimana dikehendaki dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. (Lulu Anjarsari)