Rapuhnya koalisi yang mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merupakan akibat tidak adanya koalisi permanen yang berkomitmen mendukung mereka. Demikian dikemukakan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan panitia khusus (pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden (RUU Pilpres di Gedung DPR Jakarta, Selasa (8/4) malam lalu.
Dengan demikian menurut Qodari maka tidak ada garansi yang bisa diharapkan dari komitmen partai politik yang ikut serta dalam pemeritnahan. "Komitmen partai politik pendukung pemerintah hampir mustahil bisa digaransi, karena komitmen politik di masa pencalonan presiden/wapres dan pasca pilpres adalah dua hal yang berbeda," ujar Qodari.
Oleh karena itu menurut Qodari untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya di dalam UU Pilpres mendatang harus diatur mengenai adanya koalisi permanen. Salah satu solusinya yaitu dengan pengaturan yang dibuat dengan sebuah kontra tertulis tentang koalisi permanen. "Di dalam kontrak tertulis ini nanti diatur tentang ruang lingkup koalisi, apakah hanya ketika mengusung capres/cawapres atau juga sebagai partai pendukung pemerintah bila menang, dan masa berlaku koalisi tersebut," katanya.
Selain itu guna menguatkan legitimasi kekuasaan presiden juga dapat dilakukan dengan mendahulukan pelaksanaan pilpres sebelum pemilu legislatif. "Dengan demikian presiden terpilih juga memiliki partai terbesar atau bandwagon effect, karena secara tidak langsung rakyat juga akan memilih partai pendukung capres terpilih pada pileg," tambahnya.
Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Menurutnya, koalisi permanen akan membuat nyaman siapapun capres yang terpilih. Tetapi, waktu yang paling memungkinkan untuk mengadakan koalisi permanen adalah setelah diselenggarakan pemilu legislatif.
Adapun Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay menekankan pentingnya pengaturan format kampanye capres/cawapres sebagai salah satu bentuk pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Dikatakan, kampanye merupakan salah satu bentuk komunikasi antara calon dengan konstituennya sehingga tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Kampanye juga dapat membuka ruang bagi pemilih untuk mencari tahu siapa calon terbaik yang akan dipilihnya.
"Format kampanye yang cukup baik di Indonesia adalah bersifat dialogis. Misalny melalui debat terbuka. Namun, jangan sampai debat ini hanya diatur KPU dan dilakukan sekali, tapi pihak luar seperti kampus atau universitas juga harus diberikan kesempatan menyelenggarakan acara tersebut. Hal ini penting bagi pemilih agar mengetahui perbedaan antara calon yang satu dengan lainnya," ujar Hadar. (n, Rhama Deny)
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id