JAKARTA, HUMAS MKRI - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan bahwa prosedur penyusunan prolegnas telah berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2014. Masuknya UU KPK perubahan kedua dalam prolegnas telah memenuhi syarat untuk masuk ke dalam prolegnas daftar kumulatif terbuka. Hal ini menyebabkan dalam keadaan tertentu DPR, DPD dan Presiden dapat mengajukan rancangan UU di luar prolegnas.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan dalam sidang lanjutan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), pada Selasa (19/11/2019). Sidang ketiga perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno.
Dalam keterangan DPR tersebut, Arteria menyebut, dalam laporan panitia hak angket, terdapat beberapa temuan permasalahan di dalam institusi KPK baik dari sisi kelembagaan, tata kelola sumber daya manusia, tata kelola keuangan maupun tata kelola perkara. Pembentuk UU menilai adanya putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 dan temuan-temuan permasalahan di dalam institusi KPK sebagaimana tertuang dalam laporan pansus hak angket. Hal tersebut merupakan suatu urgensi nasional terkait belum optimalnya pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK.
“Oleh karena itu, pengajuan prolegnas yang telah disetujui Badan Legislasi (Baleg) yang kemudian disetujui bersama oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) adalah sah secara hukum berdasarkan Pasal 23 ayat 2 huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011,” tegasnya.
Sehingga, lanjut Arteria, opini para pemohon yang menyatakan bahwa revisi UU KPK dilaksanakan tanpa melalui prolegnas 2019 dan tidak ada kejadian yang luar biasa adalah opini yang keliru dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Terbuka dan Transparan
Arteria juga menanggapi terkait dalil pemohon yang menyatakan pembahasan RUU KPK perubahan kedua secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat yang relatif singkat. DPR menegaskan proses pembahasan telah dilakukan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan beberapa pihak dan sesuai dengan ketentuan perundang-perundangan yang berlaku dan sesuai dengan fakta-fakta.
Dalam rapat paripurna, lanjut Arteria, RUU KPK tersebut disetujui oleh DPR dan Pemerintah sebagai Undang-Undang. Oleh karena itu, opini para pemohon yang menyatakan pembahasan UU KPK perubahan kedua dilakukan secara tersembunyi dan dalam waktu yang singkat adalah opini yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan fakta.
Selain itu, dalil para pemohon yang menyatakan UU KPK cacat formil merupakan asumsi para pemohon yang tidak berdasar. Sehingga tidak ada ketentuan dalam pasal a quo mengurangi hak para pemohon untuk melaksanakan tugasnya sebagai advokat. Dengan demikian para pemohon tidak dapat membuktikan pertautan langsung dengan UUD 1945.
Inisiatif DPR
Sementara Pemerintah dalam keterangan yang disampaikan oleh Agus Hariadi Staf Ahli Menkumham mengatakan pengujian UU a quo merupakan revisi yang diinisiatif oleh DPR yang secara teknis diproses oleh alat kelengkapan DPR atau badan legislatif. Sehingga pelaksanaan teknis penyusunan rancangan undang-undang hanya merevisi beberapa pasal saja. Sedangkan proses perencanaan RUU revisi dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPR.
“Rancangan UU a quo secara prosedur telah dibahas bersama baik dipembahasan tingkat I maupun tingkat II yang dapat dilihat pada undangan rapat pembahasan RUU pada perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar Agus.
Kemudian, terhadap dalil yang menyatakan revisi UU KPK cacat prosedur, Pemerintah mengatakan bahwa landasan Indonesia dalam pembentukan UU secara filosofis didasari dengan penerapan asas legalitas sebagai fungsi pelaksanaan negara hukum. Prinsip legalitas menyatakan rancangan UU dibahas DPR bersama Presiden untuk mendapatkan pengesahan.
“Apabila dianggap cacat prosedur dalam pembahasan dan persetujuan secara teknis tentu ada penolakan baik yang dilakukan oleh presiden atau yang mewakili maupun penolakan dari fraksi DPR dalam forum pembahasan. Sehingga, hal yang menjadi objek pembahasan tidak dapat diambil keputusan,” tegasnya.
Dengan demikian, Agus menegaskan bahwa proses pembentukan revisi UU KPK telah dilaksanakan dengan proses dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prosedur yang benar dan tepat dan telah masuk dalam daftar prolegnas.
Sebelumnya, Wiwin Taswin selaku salah satu Pemohon Nomor 59/PUU-XVII/2019 mendalilkan bahwa Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945. Menurut para Pemohon, pengesahan UU KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak sesuai dengan semangat TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan sama sekali tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sambungnya, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara.
Selain itu, para Pemohon juga menilai perubahan UU KPK mengalami cacat formil dalam pembentukannya dan pengambilan keputusan oleh DPR dalam pembentukannya juga tidak memenuhi syarat kuorum. Dengan demikian, pembentukan perubahan UU KPK secara nyata melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. (Utami/LA)