R FERDIAN ANDI R
INILAH.COM, Jakarta â Filosofinya apik, realitanya malah pelik. Begitulah penilaian apa adanya tentang keberadaan sebagian lembaga negara. Sudah tak berfungsi efektif mengatasi persoalan kebangsaan, ternyata juga jadi tak efisien.
Simak saja drama politik-hukum yang dipertontonkan para pemangku sebagian lembaga negara di negeri ini. Mulai dari Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai ke departemen-departemen.
Bukan hanya tak berfungsi efektif dalam membantu pemetintah untuk mengatasi berbagai masalah kebangsaan, tapi juga tak sedikit menghabiskan biaya dan investasi sosial.
Dalam Rancangan Anggaran Belanja Negara (RAPBN) Perubahan 2008, misalnya, tercatat Rp 285,5 miliar anggaran diposkan untuk departemen, lembaga atau badan di bawah negara. Hasilnya? Publik tentu bisa menilainya.
Kondisi itu, bahkan, disorot secara tajam oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, banyaknya lembaga baru yang muncul pascareformasi justru memicu masalah baru.
Jimly pun mengusulkan dilakukannya penelaahan kembali atas pembentukan lembaga-lembaga baru itu. "Setelah 10 tahun, kini tiba saatnya menelaah kembali konfigurasi lembaga negara," kata Jimly dalam pertemuan rutin pejabat lembaga negara di Gedung MK belum lama ini.
Jimly menyebutkan, lembaga itu termasuk komisi-komisi seperti Komisi Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Perlindungan Anak, dan sebagainya. Ia mengatakan, awalnya pembentukan lembaga-lembaga itu masuk akal. Tapi, lama-kelamaan memunculkan berbagai pertanyaan.
Jimly menganggap perlu dibuat cetak biru untuk menentukan siapa bertanggung jawab mengontrol pembentukan lembaga negara. Fungsi kontrol untuk yudikatif, legislatif, dan eksekutif. "Perlu dipikirkan koordinasi kebijakan karena keberadaan lembaga itu menimbulkan akibat jangka panjang," ujarnya.
Tapi, gagasan Jimly kontradiktif dengan usulan amandemen UUD 1945 yang diusulkan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam usulan amandemen komprehensif, DPD menghendaki komisi-komisi negara masuk dalam konstitusi negara.
Irman Putra Sidin, pakar hukum tata negara dari Univeristas Hasanudin (Unhas), menilai bahwa keberadaan komisi-komisi negara dalam konstitusi untuk memperkuat lembaga bersangkutan.
âMemang, mulanya lembaga diciptakan untuk ad hoc, tapi dalam perjalanannya akan menjadi permanen karena rakyat membutuhkannya,â kata Irman kepada INILAH.COM.
Irman mencontohkan yang berlaku di Hongkong. Pada 1970, ketika polisi/jaksa/hakim korup, muncul Independen Comission Againt Corruption (ICAC). âICAC itu berhasil. Hingga kini masih ada komisi itu dan masuk ke konstitusi negara,â jelasnya.
Irman menegaskan, di negara yang memberlakukan disiplin tinggi, pejabat yang tidak mampu bekerja sesuai target akan mundur dengan sendirinya. âDi Mahkamah Agung kita, posisi Ketua Muda Bidang Pengawasan ternyata tidak efektif, maka muncul Komisi Yudisial,â tegasnya.
Bagi Saldi Isra, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand), kemandulan lembaga negara jelas harus disikapi lebih tegas. âLihat saja performa eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Para pemangku jabatannya tidak mampu berperan maksimal,â tukasnya.
Menurut Saldi, hal itu tak terlepas dari keberadaan parpol. Keberadaan parpol di Indonesia, katanya, masih mempraktikkan kepemimpinan yang hegemonik. âTak aneh bila di lembaga legislatif selalu memakai dialektika kekuasaan, bukan kepentingan rakyat yang dijadikan pijakan berpikir,â tegasnya.
Pembenahan orientasi dan paradigma parpol harus segera dilakukan. Itu jadi kata kunci untuk memompa efektivitas lembaga-lembaga negara. âBenahi segera parpol,â kata Saldi.
Lebih jauh Saldi mencontohkan, dalam proses seleksi anggota lembaga-lembaga negara melalui DPR maupun tidak, logika yang diterapkan hanya berperspektif jangka pendek (short term). âLogika yang diterapkan adalah how to get much money,â cetusnya.
Dalam konteks ini, gagasan Jimly untuk merapikan lembaga-lembaga negara tentu sepatutnya mulai dijalankan. Di sisi lain, lembaga atau komisi negara yang memiliki daya gedor tinggi dalam hal tertentu bisa saja dijadikan permanen dan masuk dalam konstitusi sebagaimana usulan amandemen dari DPD. [I3]
Sumber: inilah.com / 10/04/2008
Foto: http://www.dpr.go.id/ast/img/pic/13120.aksara.dpr-mpr.png