JAKARTA, HUMAS MKRI - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan frasa “serentak” dalam Undang-Undang Pemilu merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013. Dalam putusan MK tersebut, amarnya mengabulkan lima permohonan Pemohon untuk sebagian dan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Pertimbangan hukum putusan MK tersebut pada intinya untuk memperkuat sistem presidensial.
Hal tersebut disampaikan Anggota DPR Taufik Basari didampingi Anggota DPR lainnya Habiburokhman dan Arteria Dahlan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019), pada Senin (18/11/2019) di MK.
Menurut Mahkamah, lanjut Taufik, pelaksanaan pilpres setelah pemilu anggota lembaga perwakilan, tidak memberikan penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi yaitu sistem presidensial. Mahkamah juga memberikan penilaian dari sisi original intent dan penafsiran sistematik, yakni makna asli yang dikehendaki oleh para perumus Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dapat disimpulkan oleh Mahkamah pada saat itu. “Bahwa penyelenggaraan pilpres dilakukan serentak dengan pemilu anggota lembaga perwakilan dengan merujuk pada pendapat dari Slamet Effendy Yusuf sebagai salah satu anggota panitia ad hoc Badan Pekerja MPR RI berdasarkan Risalah Komisi A Kedua Sidang Majelis pada Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001,” urai Taufik.
Kemudian terkait dalil Pemohon terdapat sejumlah data kematian petugas pemilu dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, DPR merasa perlu memberikan tanggapannya. “Adanya korban dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 tidak memiliki korelasi dengan keberlakuan pasal-pasal a quo Undang-Undang Pemilu. Jika pun terdapat permasalahan ataupun kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu serentak, maka hal tersebut menjadi bahan evaluasi bagi para penyelenggara pemilu untuk penyelenggaraan pemilu yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, opini para Pemohon karena tidak relevan, maka kami menganggap adalah opini yang bersifat asumtif,” ujar Taufik kepada Majelis Hakim Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
DPR juga menanggapi soal pemilihan kepala daerah yang dipersoalkan Pemohon Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019. “Pilkada merupakan bagian dari rezim kepala pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan bukan merupakan rezim pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi, Putusan MK Nomor 97 Tahun 2013 angka 3.12.5, Pilkada tidak termasuk dalam rezim pemilu, melainkan masuk dalam rezim pemerintah daerah,” kata Habiburokhman.
Selanjutnya DPR menanggapi terkait masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota dan wakil walikota hasil Pemilu 2020 yang menjabat sampai dengan 2024 untuk dibatalkan. DPR memberikan keterangan bahwa keberadaan pasal a quo merupakan implikasi keputusan yang diambil dalam pembahasan undang-undang bahwa pilkada serentak nasional diagendakan, dilaksanakan pada 2024. Penetapan tahun 2024 sebagai tahun pelaksanaan pilkada serentak nasional merupakan suatu rangkaian yang telah dibangun sejak pelaksanaan pilkada serentak bertahap yang sudah dimulai pada 2015, 2017, dan 2018.
Pemilu untuk Manusia
Dalam persidangan juga hadir Topo Santoso sebagai ahli hukum pidana yang dihadirkan MK. Topo menanggapi soal kematian lebih dari 550 petugas pemilu dan jatuh sakitnya 3.000 lebih petugas. “Saya mencoba menelusuri berbagai media internasional. Ternyata, peristiwa meninggalnya jumlah petugas pemilu dalam jumlah yang banyak, hampir tidak ditemukan. Kecuali kalau kita mencari terus, maka akan ketemu dengan peristiwa Pemilu 2019 di Indonesia. Pertanyaan ini, terus terang sangat mengganggu dan perlu dikaji secara mendalam, serta dicari jawabannya untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama terulang di masa yang akan datang,” ungkap Topo.
Menurut Topo, seharusnya pemilu itu untuk manusia dan bukan manusia untuk pemilu. Seberapa pun pentingnya pemilu bagi negara demokrasi seperti Indonesia, tidak semestinya mengambil korban jiwa yang cukup banyak. Jiwa manusia merupakan kepentingan pertama yang harus dilindungi oleh hukum di atas kepentingan lainnya.
“Meminjam Teori Maqashid As-Syariah Al-Khamsah dari Al-Syatibi yang membahas lima tujuan dari hukum, maka tujuan utama hukum adalah melindungi kepentingan dharuriyat, kepentingan yang mutlak harus dipenuhi yakni perlindungan atas jiwa manusia, akal pikiran, keturunan, harta kekayaan, dan lain-lain,” ucap Topo.
Lebih lanjut Topo menjekaskan, apabila pemilu dilakukan secara serentak dalam satu hari dan memilih sangat banyak jabatan, seperti yang saat ini dilakukan yaitu lima jabatan atau pemilu lima kotak, maka membawa dampak dan implikasi bagi beban kerja secara kesehatan dan keselamatan petugas pemilu, bila semuanya dilakukan secara manual. Mengingat batasan waktu, dan proses penghitungan, dan rekap suara, banyak dokumen yang harus diisi, dan sebagainya.
“Hal itu ditambah banyaknya tuntutan, termasuk trasparansi, akuntabilitas, dan kejujuran pemilu yang dituntut oleh para pemangku kepentingan pemilu, serta ancaman pidana yang menyertai apabila terjadi kesalahan dalam menjalankan tugas,” tambah Topo.
Sebelumnya, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 yaitu Arjuna Pemantau Pemilu, Pena Pemantau Pemilu serta lima Pemohon lainya mengujikan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menyatakan, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.” Juga Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, ,“Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.”
Para Pemohon mendalilkan fakta empiris bahwa penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 memakan banyak korban dari para penyelenggara pemilu. Terhadap permohonan ini perlu dipandang sebagai upaya evaluasi atas hasil uji coba pemilu serentak. Pendirian Mahkamah ketika mengabulkan permohonan Pemohon agar pemilu dilaksanakan secara serentak dalam Putusan Nomor 14/PUUXI/2013 didasari dengan tiga alasan. Pertama, berdasarkan praktik ketatanegaraan, pelaksanaan pilpres dilakukan setelah pemilu anggota lembaga perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi, karenanya tidak sesuai dengan semangat ketentuan Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Kedua, dari sudut pandang original intent, gramatikal, dan sistematis, pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan. Ketiga, pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan secara serentak akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara.
Sementara itu Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini selaku Pemohon Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Titi mendalikan, penyelenggaraan pemilu serentak dengan 5 kotak secara sekaligus telah secara nyata menimbulkan kerumitan bagi pemilih di dalam memberikan pilihan politiknya. Terkait hal ini, Titi menjelaskan dalam rangkaian argumentasi yang dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Inilah yang membuat pemilu serentak 5 kotak menjadi irasional bagi pemilih karena mesti menghadapi surat suara yang banyak, jumlah calon yang banyak, sehingga mustahil pula kita akan berharap pemilih akan rasional dalam memberikan pilihan-pilihan politiknya. Selain memberatkan bagi pemilih, pemilu serentak 5 kotak juga menunjukkan terjadi peningkatan suara tidak sah sehingga ini merendahkan derajat keterwakilan pemilih dalam sebuah proses pemilu.
(Nano Tresna Arfana/NRA).