TANGERANG, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan kegiatan Penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) dan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (PHPKada) Tahun 2020, di Tangerang pada Kamis-Jumat (14-15/11/2019).
Kegiatan tersebut dihadiri langsung oleh Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, beserta 7 Hakim Konstitusi lainnya, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, Panitera MK Muhidin, serta para Kepala Biro, Kepala Pusat, Panitera Muda, Inspektur, Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional MK.
Ketua MK Anwar Usman saat membuka kegiatan mengatakan, terkait dengan formil, perkembangan hukum acara PUU di dalam praktiknya tidak lagi sama dengan PMK Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
“Sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, di dalam putusan a quo MK telah menentukan bahwa pengujian formil dibatasi maksimal 45 hari sejak UU yang dimohonkan berlaku atau diundangkan, namun PMK Nomor 6 Tahun 2005 tidak mengatur hal tersebut,” ucap Anwar.
Hal lain yang menjadi pembahasan menyangkut kedudukan hukum pemohon. Meski Pasal 51 UU MK telah mengatur siapa saja pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon dalam perkara PUU, namun perkembangan syarat konstitusional bagi pemohon, berkembang di dalam putusan-putusan MK. Sejak 2004 MK telah mengembangkan syarat kontitusional pemohon tersebut sebagai terjemahan dari Pasal 51 UU MK.
“Setidaknya ada tiga yurisprudensi pokok MK yang menjadi sumber rujukan bagi putusan setelahnya, menyangkut syarat konstitusional bagi pemohon, yakni Putusan Nomor 003/PUU-I/2003, Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007,” tegasnya.
Begitu pula halnya terhadap format putusan MK. UU MK hanya mengatur tiga bentuk amar putusan MK, yakni tidak dapat diterima, ditolak dan dikabulkan. Namun dalam perkembangannya terdapat putusan MK yang bersifat bersyarat, yakni putusan conditionally constitutional (konstitusional bersyarat) dan conditionally unconstitutional (inkonstitusinal bersyarat). Bahkan ada pula putusan MK yang amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya, memberikan pesan kepada pembentuk UU untuk mengubahnya.
Anwar berharap kegiatan ini dapat mengevaluasi terhadap PMK, mulai dari tahap pendaftaran permohonan, penjadwalan sidang, format permohonan, jawaban, keterangan pihak terkait, mendengarkan keterangan saksi dan pemeriksaan alat bukti, hingga evaluasi terhadap format putusan.
Sementara, Sekjen MK M. Guntur Hamzah melaporkan bahwa agenda kegiatan penyusunan PMK ini ditujukan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan MK terkait dengan hukum acara dalam penanganan perkara khususnya perkara pengujian undang-undang dan perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang akan dihadapi oleh MK pada 2020 mendatang.
“Sejalan dengan amanat Pasal 86 UU MK yang menyatakan bahwa MK dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut UU, MK telah menerbitkan berbagai PMK yang mengatur tentang tata beracara dalam penanganan perkara di MK,” jelasnya
Dalam perkembangannya, lanjutnya, PMK tentang pedoman beracara dipandang perlu untuk disempurnakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum acara dan kebutuhan MK itu sendiri.
“Dengan adanya PMK yang baru diharapkan dapat meningkatkan kualitas penanganan perkara di MK. Selain itu, dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelesaian perkara di MK sehingga memperlancar prosedur beracara baik di MK sendiri maupun para pencari keadilan,” ungkapnya.
Beberapa pembahasan dalam penyusunan PMK yang dilakukan, yakni terkait revisi PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang didasari 3 kebutuhan. Di antaranya, PMK Nomor 06/PMK/2005 belum mengakomodir ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, adanya serangkaian yurisprudensi putusan MK terkait hukum acara yang perlu diatur dalam PMK, selain itu, adanya kebutuhan masyarakat dan pencari keadilan yang belum terakomodasi dalam PMK Nomor 06/PMK/2005.
(Bayu/NRA).