JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar kegiatan Sosialisasi Membangun Budaya Anti Korupsi dan Gratifikasi di Lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/11/19) di Aula Gedung MK. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, Rabu-Kamis (13-14/11/19).
Pada hari kedua ini, hadir sebagai narasumber, Kepala Bidang Koordinasi Kebijakan dan Evaluasi Pelayanan Publik Wilayah I-2 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Emida Suparti yang membahas mengenai kebijakan pelayanan pengaduan masyarakat di lingkungan Kemenpan RB. Dia mengatakan, sistem pengaduan pelayanan publik di instansi pemerintah perlahan tapi pasti mulai terintegrasi. Aplikasi layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) sebagai aplikasi berbagi pakai harus digunakan secara nasional oleh seluruh jajaran pemerintah.
“Sistem pelayanan publik harus menjadi satu kesatuan. Hal ini untuk mengatur supaya pengaduan masyarakat terintegrasi sehingga kita punya peta pelayanan,” ujar Emida saat memberikan materi dalam acara sosialisasi tersebut.
Menurutnya, keterpaduan sistem itu sejalan dengan Perpres No. 76/2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik. Sehingga, Kemenpan RB sebagai penanggung jawab pengelolaan pengaduan masyarakat menciptakan aplikasi SIPP Nasional yang nantinya mampu mengakomodir informasi seluruh komponen pelayanan publik dari tiap kementerian/lembaga sehingga masyarakat bisa mengukur konsistensi dan integritas pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Emida menjelaskan, aplikasi LAPOR! akan dijadikan sebagai aplikasi umum yang dapat dipakai oleh berbagai instansi pemerintahan guna menghemat anggaran dalam pembangunan aplikasi baru yang bersifat parsial.
Narasumber berikutnya, Kepala Unit Keasistenan Penerimaan dan Verifikasi Laporan/Pengaduan Masyarakat Ombudsman Indonesia, Awidya Mahadewi menyampaikan materi mengenai tata kelola pengaduan masyarakat. Ia mengatakan bahwa Ombudsman merupakan lembaga independen, bersifat mandiri dan menjalankan tugas bebas dari campur tangan lembaga lain. Menurutnya, Ombudsman mempunyai dua fungsi terkait pengaduan. Fungsi pertama yakni mengelola pengaduan masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik oleh penyelenggara negara tetapi di sisi lain Ombudsman juga perlu untuk membuka ruang-ruang publik untuk menyampaikan pengaduan terkait kinerja Ombudsman sendiri. Hal ini diharapkan agar Ombudsman terawasi oleh masyarakat agar tidak terjadi penyelewengan. Selain itu, Ombudsman juga mengharapkan feedback dari masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kinerjanya.
Dalam pengelolaan pengaduan, lanjut Awidya, ada beberapa tahapan penting yang perlu diketahui oleh penyelenggara pelayanan publik agar tata kelola pengaduan dapat berjalan secara efektif dan efesien, di antaranya yaitu, pertama, tersedianya sarana penyampaian pengaduan, dapat melaui telepon, SMS, WA, datang langsung, dsb. Kedua, adanya pejabat yang mengelola pengaduan. Ketiga, terdapat sistem mekanisme prosedur pengaduan. Keempat, terdapat jangka waktu penyelesaian pengaduan. Kelima, menyusun laporan secara berkala hasil pengelolaan pengaduan yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan kebijakan peningkatan pelayanan publik.
Hadir pula sebagai narasumber, peneliti di Direktorat Penlitian dan Pengembangan, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Timotius Hendrik Partohap yang menyampaikan materi terkait konflik kepentingan. Ia menjelaskan bahwa konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Timotius menegaskan dalam konflik kepentingan terdapat beberapa tahapan yang perlu dipahami. Tahapan dalam penanganan konflik kepentingan di antaranya, pertama, penyusunan kerangka kebijakan. Kedua, identifikasi situasi konflik kepentingan. Ketiga, penyusunan strategi penanganan konflik kepentingan. Keempat, penyiapan serangkaian tindakan untuk menangani konflik kepentingan.
(Utami/NRA)