JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Sidang perkara Nomor 63/PUU-XVII/2019 dengan agenda perbaikan permohonan ini diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu-isu peraturan daerah, Parliament Responsive Forum (PAMOR), Selasa (12/11/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Kepada Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto, Pemohon melalui salah satu kuasa hukumnya, Husen Bafaddal, memperbaiki permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 30 huruf c, serta Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada.
Husen mengatakan, pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Adapun permohonan yang diperbaiki yakni pada bagian perihal Pemohon hanya mengajukan pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) sedangkan pada permohonan sebelumnya pasal 17 dihilangkan. Selanjutnya, pada legal standing, dalam pasal 13 terdapat perbaikan sedangkan pada pasal 13 yang terdahulu, masuk pada poin 14 dalam permohonannya. Kemudian terdapat tambahan pada pasal 16 dan 17 serta poin 19, 20 dan tambahan pada poin 23. Pada poin 24 huruf a terdapat penambahan huruf a anak kalimat yang berbunyi ‘karena waktu untuk memeriksa dan memutus sengketa pemilihan hanya 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan (vide pasal 142 ayat 2). Sementara pada poin 24 huruf c, bait ketiga terjadi perubahan pada kata ‘memadainya’ dan anak kalimat terdapat tambahan ‘yang hanya menentukan bahwa tahapan penyelesaian sengketa pemilihan yaitu poin a menerima dan mengkaji laporan atau temuan, b mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat’.
“Dalam pengajuan pengujian poin 22 pasal 1 angka 17, pasal 23 ayat (3), pasal 30 huruf c dihapus, yang tersisa hanya 143 ayat (2) dan (3) yang menjadi pokok permohonan,” ujar Husen. Untuk batu uji, lanjut Husen, tetap menggunakan pasal 28 d ayat (1) dan 18 ayat (4). Sedangkan pasal 22 dihapus.
Terakhir, bagian petitum, ia mengatakan ada kekhilafan karena belum mencantumkan ayat 2. Hal ini dicantumkan dalam perbaikan.
Pada persidangan sebelumnya, pemohon yang diwakili kuasanya mengatakan bahwa UU Pilkada harus memiliki kepastian untuk menopang tumbuh dan berkembangnya budaya politik yang demokratis. Berdasar kajian yang dilakukan, Husen menerangkan, pemohon menemukan sejumlah norma yang menghambat pelaksanaan pilkada yang demokratis. Terhadap Pasal 1 angka 17 dalam permohonan yang diajukan PAMOR, disampaikan bahwa terdapat dua pelaksana pengawasan dalam pemilihan bupati atau walikota, yaitu Panwas Kabupaten/Kota; panitia ad hoc yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Menurut Pemohon, kedua pelaksana merupakan dua lembaga yang berbeda yang dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa Pemilihan, dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angkat 17 UU Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bersyarat.(Utami/NRA).