JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakian Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pada Senin (11/11/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 66/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh tiga orang advokat, yaitu Sidik (Pemohon I), Rivaldi (Pemohon II) dan Edwin Edison (Pemohon III). Para Pemohon mempersoalkan perubahan muatan Pasal 15 UU MD3 mengenai pimpinan MPR, dan penghapusan Pasal 427 UU MD3 mengenai masa berlaku UU Nomor 17 Tahun 2014.
Sidik (Pemohon I) dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman mengatakan bahwa kerugian konstitusionalnya lebih menitikberatkan pada mandat yang diberikan oleh Pemohon/warga negara perorangan kepada DPR agar melaksanakan tugasnya secara adil, jujur dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. “Pemberian mandat tersebut tidaklah sekali-kali kedaulatan rakyat telah dialihkan kepada DPR RI, kedaulatan tetap berada ditangan rakyat” ujarnya. Kerugian konstitusional dalam pengujian formil terbukti ada apabila Pemohon merasa DPR telah tidak melaksanakan fiduciary duty yang telah diamanatkan oleh rakyat secara adil, fair, jujur dan bertanggung jawab, padahal Pemohon telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum.
Menurutnya, dalam UUD 1945 tidak diatur lebih lanjut selain daripada keharusan adanya persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Jika semata-mata formalitas pembentukan undang-undang diuji formalitasnya berdasarkan UUD 1945 tersebut, tentunya semua undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak akan pernah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, tidak akan pernah ada pengujian formil atas suatu undang-undang karena faktanya setiap undang-undang yang telah diundangkan selalu memperoleh persetujuan dari kedua lembaga negara tersebut.
Selain itu, dia mengatakan, UU Perubahan Ketiga UU MD3 dibentuk dengan melanggar prosedur dan tata cara sebagaimana telah ditentukan dan diatur dalam Tatib DPR. Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 tidak dimuat dalam Prolegnas 2015-2019 maupun Prolegnas Prioritas tahun 2019. Jika Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 diajukan di luar Prolegnas, maka rancangan itu hanya dapat diajukan oleh DPR dan Presiden
Sidik menilai bahwa perubahan muatan dalam Pasal 15 UU MD3 tidak didorong oleh kebutuhan mengisi kekosongan hukum atau keadaan genting. Sebaliknya, hal tersebut dipandang para Pemohon cenderung mengakomodasi kepentingan politik dari partai-partai politik, memberikan setiap fraksi partai politik satu posisi Pimpinan MPR RI, yaitu Ketua atau Wakil Ketua. Dalam permohonannya, Para Pemohon juga berargumen bahwa UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak didukung oleh naskah akademik yang mumpuni secara sosiologis dan filosofis. Pemohon berkesimpulan, Perubahan Ketiga UU MD3 tidak memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan atau dengan kata lain cacat prosedur.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945. Kemudian meminta MK menyatakan UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa pemohon perlu menguraikan hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU tersebut serta menjelaskan kedudukan hukum pemohon. “Coba uraikan kerugian hak konstitusional yang dirugikan oleh undang-undang yang diujikan. Kemudian, di dalam uraian permohonan ini, meski pemohon menguraikan kerugiannya namun apabila tidak kuat uraiannya maka kami tidak memeriksa pokok permohonan” ujar Enny Nurbaningsih. Selain itu, dalam alas an permohonan, Enny menyarankan para Pemohon untuk menguraikan argumentasi pemohon.
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul. Manahan mengatakan bahwa para Pemohon perlu menjelaskan lebih lanjut mengenai kerugian konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya undang-undang. “Harusnya pemohon memperjelas kerugian konstitusional terhadap UU yang diujikan,” ujar Manahan. Sementara Ketua MK Anwar Usman mengatakan secara umum permohonan para pemohon sudah memenuhi syarat. Akan tetapi, ada hal-hal yang menjadi catatan oleh Majelis Hakim yang harus disampaikan. Terkait dengan uraian alasan Pemohon, termasuk substansi pengujian namun judulnya pengujian formil tetapi dalam uraian menyangkut substansi berkenaan dengan mengenai susunan pimpinan MPR RI. “Apakah pure uji formil atau sekaligus formil atau materiil?” tanya Anwar.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas akhir perbaikan permohonan yaitu pada Senin, 25 November 2019 pada pukul 13.30 WIB. (Utami/NRA).