JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Pasal 66 ayat (1) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dijadikan dasar Pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/11/2019) siang.
La Arta selaku Pemohon perkara Nomor 61/PUU-XVII/2019 menyampaikan beberapa perbaikan permohonan. Pemohon antara lain meringkas jumlah halaman permohonan. “Awalnya permohonan saya berjumlah 31 halaman. Kemudian setelah saya menerima masukan Majelis Hakim, sehingga saya berusaha mengurangi menjadi 15 halaman. Sebenarnya saya ingin hanya 10 halaman,” kata La Arta kepada Panel Hakim Konstitusi yang terdiri atas Wakil Ketua MK Aswanto (Ketua Panel), Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota Panel).
Perbaikan permohonan berikutnya, Pemohon lebih menguraikan secara panjang lebar mengenai hak konstitusional Pemohon yang dirugikan. Pemohon menganggap hal ini sesuai dengan nasihat Panel Hakim Konstitusi dalam sidang sebelumnya.
Panel Hakim kemudian menanggapi permohonan yang disampaikan Pemohon. “Sebelumnya kami sudah menasihati Bapak agar berkonsultasi dengan pihak yang sudah berpengalaman berperkara di Mahkamah Konstitusi. Kami melihat, perbaikan permohonan bukan memperjelas permohonan Bapak. Tapi semakin mengaburkan permohonan,” kata Aswanto.
Hal yang mengaburkan tersebut, menurut Aswanto, terlihat dalam petitum Pemohon tidak ada pasal yang diminta Pemohon yang menyatakan bertentangan dengan UUD. Namun Pemohon malah meminta Majelis Hakim agar membatalkan seluruh undang-undang yang diuji oleh Pemohon. “Karena dalam posita, Bapak hanya menganggap ada beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,” tegas Aswanto.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang pendahuluan La Arta menerangkan pokok permohonan bahwa ia sekeluarga memiliki tanah seluas 2 hektar di Desa Sombano, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Namun tanah tersebut diserobot atas perintah La Ode Abdul Hamid bersama saudaranya. Padahal tanah itu sudah diakui oleh orang tua La Ode Abdul Hamid sebagai milik Pemohon.
Kemudian Pemohon menggugat perihal penyerobotan tanah tersebut ke Pengadilan Negeri Bau-Bau namun kalah. Menurut Pemohon, ada pemalsuan surat tanah oleh para penyerobot tanah. Karena itulah Pemohon mengambil langkah hukum berupa Peninjauan Kembali (PK). Setelah ada putusan kasasi perkara pidana pemalsuan surat tanah, maka Pemohon mengajukan permohonan PK kedua kali karena ada novum.
Upaya untuk untuk mengajukan PK kedua kali tidak dapat dilakukan karena ada Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 dari Mahkamah Agung (MA). “Namun surat edaran tersebut harus dinyatakan batal karena sudah ada surat edaran baru yakni Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali,” ujar La Arta kepada Majelis Hakim MK.
Menurut Pemohon, dengan berlakunya undang-undang rujukan dari surat edaran ini merugikan haknya sebagai Pemohon. “Saya sudah jelaskan dalam permohonan itu apa yang dirugikan. Pada sidang-sidang ini kami sudah menemukan satu alamat bahwa ternyata lawan kami ini menggunakan surat palsu. Sehingga kami laporkan dan dilapor dan disidangkan melalui putusan. Lawan kami itu telah terbukti menggunakan surat palsu dan putusan telah inkracht dan telah menjalani putusan itu,” papar Arta.
Kemudian Pemohon menemukan novum putusan Mahkamah Agung tentang pemalsuan surat oleh terdakwa lawan Pemohon. Alhasil Pemohon mengajukan PK kedua. Namun ternyata, ada surat edaran berikutnya yang menyatakan bahwa semua itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Berarti menahan hak kami ini tadi tidak berdasar,” ungkap Arta. (Nano Tresna Arfana/NRA).