BALI, HUMAS MKRI – Perlindungan hak sosial ekonomi warga negara memiliki beberapa hambatan. Pertama, berbagai undang-undang (UU) terkait hak sosial ekonomi dibuat oleh beberapa komisi di dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang tentu memiliki berbagai opini mengenai hak sosial ekonomi. Kedua, hak sosial ekonomi tersebar pada banyak undang-undang. Hal ini menyebabkan perlunya sinkronisasi antara berbagai undang-undang tersebut.
Demikian papar Dr. Harjono dalam sesi kedua kursus singkat internasional yang diadakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Rabu (6/11/2019) di Nusa Dua, Bali didampingi moderator Analis Kerja Sama Bilateral MK Olfiziana Tri Hastuti. Kegiatan kursus singkat internasional ini merupakan bagian rangkaian acara “The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019)” yang diadakan Senin-Kamis (5-7/11/2019). Acara ini diisi dan dihadiri oleh para akademisi dan praktisi hukum konstitusi dari berbagai negara.
Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2008-2013 yang sekarang menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini mengungkapkan bahwa terkait perlindungan hak sosial ekonomi warga negara, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki hambatan. Salah satu hambatan tersebut adalah batas kewenangan dalam pembentukan undang-undang. “Apakah Mahkamah Konstitusi tugasnya hanya membatalkan UU atau apakah MK juga memiliki hak untuk membuat UU? Itu juga salah satu masalah (bagi MK),” ungkapnya. Jika kewenangan MK berhenti di situ saja, maka ada potensi terjadi kekosongan hukum.
Harjono juga mencontohkan perubahan terhadap UU Perkawinan, yang telah dipaparkan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sesi sebelumnya. Batas minimal usia perkawinan bagi wanita yang ditetapkan oleh MK dan langsung diratifikasi oleh pemerintah dalam UU tersebut adalah salah satu contoh positif kewenangan MK. Namun, proses perubahan UU yang telah ditafsirkan MK umumnya tidak sedemikian cepat. Umumnya, setelah putusan MK diturunkan, masyarakat harus menunggu legislatif mengubah UU yang ditafsirkan. “Mestinya apa yg diputus oleh Mahkamah Konstitusi punya kekuatan langsung pada saat diputuskan. Tetapi, jika pada kenyataannya legislatif tidak mengubah (UU tersebut), apa yang terjadi?” terang Harjono mengenai masalah dalam sistem hukum Indonesia yang belum terselesaikan.
Harjono juga menyebutkan bagaimana MK menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. “Memang ada satu kasus yang terkenal di mana Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak hanya menyatakan bahwa (suatu UU) bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga membuat aturan, yang seharusnya hak badan legislatif. Kasus itu berkaitan dengan hak untuk memilih di dalam pemilu. Di dalam ketentuan UU, (hak tersebut) hanya diberikan kepada warga negara yang terdaftar dalam (DPT).” Dalam perkara tersebut, mengingat batasan waktu, diputuskan semua warga negara dapat menggunakan hak pilihnya meskipun tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Sangat sulit bagi MK memutus apakah UU konstitusional atau tidak, imbuhnya. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah adanya putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), di mana MK memberikan panduan untuk UU yang dapat ditafsirkan secara luas. (Yuniar Widiastuti/NRA)