BALI, HUMAS MKRI – Para pendiri bangsa Indonesia meletakkan lima prinsip dasar bagi negara Indonesia dalam Pancasila yang dimuat dalam paragraf keempat Pembukaan UUD 1945. Dari kelima prinsip tersebut, ada tiga ide yang mendasari Indonesia, yaitu prinsip negara hukum yang demokratis, prinsip demokrasi yang berdasarkan atas hukum, dan prinsip ketuhanan. Banyak negara memisahkan kehidupan bernegara dengan nilai religius, tetapi Indonesia tidak menganut hanya satu agama sebagai dasar negara tetapi juga bukan negara sekuler. Dasar ketuhanan menjadi panduan moral penyelenggara negara dan warga negara dalam berperilaku.
Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sesi keempat kursus singkat internasional yang diadakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Rabu (6/11/2019) di Nusa Dua, Bali didampingi moderator Immanuel Hutasoit. Kegiatan kursus singkat internasional ini merupakan bagian rangkaian acara “The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019)” yang diadakan Senin-Kamis (5-7/11/2019). Acara ini diisi dan dihadiri oleh para akademisi dan praktisi hukum konstitusi dari berbagai negara.
Berpijak dari nilai dan ide mendasar tersebut UUD 1945 memuat esensi tujuan Indonesia sebagai welfare state, yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, “...Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” Namun, Indonesia bukan hanya sekadar welfare state melainkan religious atau spiritual welfare state, ungkap Arief Hidayat.
Selanjutnya, Arief menjelaskan contoh penafsiran perlindungan hak sosial ekonomi dalam konstitusi berketuhanan di Indonesia. Ia mencontohkan andil Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 002/PUU-I/2003 tentang pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air. “Undang-Undang Sumber Daya Air yang dibuat oleh pemerintah menjadikan air suatu komoditas, padahal Mahkamah Konstitusi [menyatakan] air tidak boleh menjadi komoditas [karena] air adalah warisan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, hak milik warga negara. Oleh karena itu maka air tidak bisa dikuasai melalui privatisasi dan dijadikan komoditas.” (Yuniar Widiastuti/NRA).