BALI, HUMAS MK – Sepanjang rentang waktu 2013 hingga 2018, terkait dengan klaim kedaluwarsa untuk hak tidak memiliki kedaluwarsa klaim dan pemutusan hubungan kerja karena pengunduran diri pekerja serta pekerja dalam proses pidana, masih ada hakim di pengadilan tingkat pertama yang membuat putusan pengadilannya dengan mengabaikan nilai dalam Putusan MK. Sehingga, inkonsistensi pada tingkat implementasinya masih menciptakan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. Hal tersebut diutarakan Florianus Yudhi Priyo Amboro dari Universitas Internasional Batam yang hadir sebagai pemakalah dalam kegiatan Call for Papers yang diadakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Kamis (7/11/2019) di Nusa Dua, Bali.
Menurut Yudhi, ketidakkonsistenan ini dipengaruhi oleh landasan filosofis yang digunakan oleh MK untuk dalam memutus perkara pengujian undang-undang, seperti pada putusan Nomor 100/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 114/PUU-XIII/2015, yang berdampak pada pemahaman bahwa jika klaim kedaluwarsa untuk hak tidak memiliki kedaluwarsa klaimnya dan jika itu terkait dengan pemutusan hubungan kerja karena pengunduran diri pekerja dan pekerja dalam proses pidana, maka barulah klaim kedaluwarsa akan muncul.
Melalui makalah berjudul “Reconstruction of Expiration Claims in Labor Law: Perspective of Corporate” ini Yudhi menilai apabila kondisi ini dipertahankan, maka dapat saja berpengaruh pada ketiadaan masa depan untuk kepastian hukum dalam perspektif perusahaan. ”Oleh karena itu, perlu untuk segera dilakukan perubahan undang-undang terkait dengan pengaturan klaim kedaluwarsa di bidang tenaga kerja yang mengakomodasi konsep klaim kadaluwarsa dan Putusan MK terkait dengan memprioritaskan prinsip itikad baik untuk melihat kepentingan semua pihak dalam pekerjaan,” ujar Yudhi dalam presentasi dan diskusi yang dipimpin Dhiana Puspitawati dari Universitas Brawijaya.
Tafsir Asas Kekeluargaan pada Konstitusi dalam Sektor Ekonomi
Pada kesempatan yang sama, Elaina Aurylia Permadi dari Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’, Indonesia, mempresentasikan makalah yang berjudul “State-Owned Holding Companies in Indonesia: The Constitutional Court Perspective”. Melalui tulisan ini, Elaina mengungkapkan bahwa terkait dengan perlindungan hak sosial ekonomi masyarakat terutama yang ternaung dalam sebuah perusahaan berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tertuang dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Dalam ketentuan norma tersebut terdapat penggunaan dan penerepan asas atau prinsip keluarga yang mengisyaratkan sebagai rasa saling membantu. Namun demikian, dalam interaksi antara organ-organ BUMN, Elaina dalam penelitiannya tidak melihat adanya hubungan langsung dengan penerapan prinsip-prinsip keluarga yang dimaksudkan konstitusi tersebut. Untuk itu, dirinya melalui tulisan ini memberikan rekomendasi bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut agar pemaknaan wawasan tentang hubungan yang tepat antara organ-organ BUMN dapat diterapkan lebih baik.
Dalam hal ini, Elaina mengakui dari penelitiannya ia ingin menganalisis praktik saat ini dan rencana lebih lanjut tentang program BUMN melalui rencana pembangunan ekonomi Indonesia dan kontribusi terhadap hak-hak rakyat dalam aspek ekonomi dilihat dari perspektif pengadilan konstitusi. Sehingga dari analisisnya, Elaina menemukan bahwa tujuan skema BUMN tersebut dibagi secara proporsional, baik untuk tujuan kesejahteraan rakyat maupun untuk tujuan berbasis keuntungan yang sejalan dengan kehendak konstitusi. Keberadaan lembaga peradilan di Indonesia seperti MA dan MK, diharapkan dapat menjamin peran pengawasan negara dalam mewujudkan kemakmuran rakyat.
Hak Ekonomi Aceh dalam MoU Helsinki
Sementara itu, Muhammad Ridwansyah dari Universitas Pendidikan Cut Nyak Dhien memaparkan makalah dengan judul “Aceh's Economic Rights in the Helsinki MoU: Juridical and Sociological Review of Law Number 11 Year 2006 concerning the Government of Aceh”. Dalam makalahnya, Ridwansyah mengemukakan keberadaan hak ekonomi Aceh dalam MoU Helsinki dari Perspektif Yuridis tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Karena dari tujuh hak ekonomi Aceh yang terdapat dalam perjanjian internasional tersebut, sambung Ridwansyah, hanya sebagian yang diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dalam sikapnya, Ridwansyah melihat hal ini merupakan bagian dari pengecualian hak-hak ekonomi Aceh yang diamanatkan secara konstitusi. Padahal nilainya, hak ekonomi Aceh dalam MoU Helsinki dari perspektif yuridis mengarah pada kepastian hukum yang harus dijalankan oleh Pemerintah Pusat Indonesia. Di samping itu, Ridwansyah pun melihat bahwa hak ekonomi Aceh dalam MoU Helsinki dari perspektif sosiologis berdampak pada masyarakat Aceh sebagai institusi sosial “Sehingga semua hak ekonomi Aceh di masa mendatang diharapkan tidak hanya dinilai sebagai sebuah kebijakan yang diterapkan secara yuridis, tetapi juga harus meninjunya dari aspek perspektif sosiologis sehingga norma-norma hukum yang diinginkan tercapai,” jelas Ridwansyah.
Kegiatan Call for Paper ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI yang menjadi bagian dari rangkaian The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019). Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari (6 – 7/11/2019), yang dalam setiap sesinya menghadirkan dua atau tiga pemakalah dari berbagai negara seperti Australia, Bangladesh, Cina, Kolombia, Jerman, Malaysia, Indonesia, Kenya, Kirgistan, Palestina, Rusia, Spanyol, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Turki. Untuk kemudian, didiskusikan dalam forum terbuka oleh pemakalah lainnya. (Sri Pujianti/NRA)