BALI, HUMAS MK – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar kegiatan Call for Paper yang menjadi bagian dari rangkaian The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019) di Nusa Dua, Bali pada Rabu (6/11/2019). Dalam acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI ini, pada sesi ketiga hadir tiga pemakalah yakni Christoph Enders dari Leipzig University dengan judul “Social and Economic Rights in the German Basic Law? An Analysis with Respect to Constitutional Jurisprudence”, Imogen Canavan dari Max Planck Foundation dengan makalah berjudul “A South Asian approach to promoting and protecting socioeconomic rights?”, dan Kamil A. Strzępek dari Cardinal Stefan Wyszynski University dengan pemaparan berjudul “The Application of the Right to Property by Courts in Poland and the European Court of Human Rights in Strasbourg: A Case Study”.
Dalam paparannya, Christoph menyebutkan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum setiap warga negaranya dalam hak atas keamanan. Namun, keberadaan manusia sebagai subjek hukum tersebut juga membentuk suatu dasar hak agar seseorang itu juga punya andil dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, sambung Christoph, hal ini mengisyaratkan bahwa sebagai subjek hukum, manusia harus diperlakukan sama dan berhak atas partisipasi yang sama dalam layanan yang diberikan oleh negara.
Sebalinknya, Christoph berpendapat bahwa hak atas jaminan penghidupan yang bermartabat sebenarnya tidak terkait langsung dengan status manusia sebagai subjek hukum. Asumsinya ini dikuatkan ketika Mahkamah Konstitusi Federal merujuk pada signifikansi otonom dari hak ini.
“Jadi martabat manusia tidak tergantung pada status sosial dan keadaan ekonomi. Manusia dalam berbagai situasi dapat saja menjadi subjek hukum,” tegas Christoph dalam presentasinya yang domoderatori oleh Dhiana Puspitawati dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Perdebatan Nilai-Nilai Asia dan Mekanisme HAM Regional
Pada kesempatan selanjutnya, Imogen dalam presentasinya mengutarakan cakupan wilayah Asia begitu luas, namun tidak didukung oleh mekanisme hak asasi manusia regional dalam penegakan hak-hak sosial ekonominya. Padahal, menurutnya ada banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan hal tersebut. Dengan luasnya geografis dan keragaman Asia dan merupakan wilayah terpadat di dunia, menjadikan konsensus regional ini sebagai sebuah tantangan dan argumen terhadap keberadaan nilai-nilai Asia serta konsep tradisional kedaulatan negara yang sering dikutip sebagai alasan tidak adanya mekanisme tersebut.
Sebagai contoh, Imogen menyebutkan bahwa pada sub-wilayah Asia Selatan yang terdiri dari Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka, tidak terdapat mekanisme hak asasi manusia. Dalam konteks ini, seharusnya konstitusi negara-negara ini memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak sosial ekonomi.
“Sesungguhnya sub-wilayah ini sangat mungkin untuk memiliki pendekatan homogen terhadap hak-hak sosial ekonomi yang berasal dari budaya, sejarah, serta sistem sosial dan hukum yang lebih dekat. Karena dengan pendekatan yang homogen semacam ini dapat membentuk landasan bagi kerja sama sub-regional yang dapat meningkatkan esensi dari perlindungan hak-hak sosial ekonomi,” jelas Imogen.
Interpretasi Hukum yang Berbeda
Dalam kesempatan yang sama, Kamil memperkenalkan pada peserta Call for Paper tentang hubungan antara Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan hukum nasional di Polandia. Dalam simpulannya Kamil berpendapat bahwa pengadilan Polandia dan pengadilan HAM Eropa di Strasbourg yang merujuk pada hak atas properti. Bahwa terdapat perbedaan pandangan akan adanya klausul pembatasan. Di mana pada penerapan hukum secara horizontal terdapat penerapan hukum dalam hubungan antar-individu. Dengan kata lain, terdapat sebuah pembatasan pelaksanaan hak dan kebebasan oleh individu karena adanya pelaksanaan hak dan kebebasan oleh individu lainnya. Sehingga, saat melaksanakan hak dan kebebasannya, seorang individu harus memperhatikan kebebasan dan hak individu lainnya.
Sedangkan dalam tatanan hukum di Polandia, terutama dalam konstitusinya terdapat sejumlah besar hak dan kebebasan ekonomi, sosial, dan budaya. Bahwa hak atas properti adalah salah satu hak dasar. Pada praktiknya, penerapan hukum oleh pengadilan Polandia dan European Convention on Human Rights (ECHR) menunjukkan adanya pendekatan yang berbeda untuk interpretasi tentang hak atas properti. “Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya interpretasi hukum yang berbeda di tingkat domestik seperti di Polandia tersebut dan hukum internasional tidak sepenuhnya dilarang. Karena pada satu sisi, ada pembenaran teoretisnya bahwa terdapat prinsip subsidiaritas,” ujar Kamil.
Kegiatan Call for Paper ini diselenggarakan selama dua hari (6 – 7/11/2019), yang dalam setiap sesinya menghadirkan dua atau tiga pemakalah dari berbagai negara seperti Australia, Bangladesh, Cina, Kolombia, Jerman, Malaysia, Indonesia, Kenya, Kirgistan, Palestina, Rusia, Spanyol, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Turki. Untuk kemudian, didiskusikan dalam forum terbuka oleh pemakalah lainnya. Mengangkat tema “Constitutional Court and the Protection of Social and Economic Rights”, kegiatan ini merupakan bagian dari upaya MKRI untuk saling berbagi ide, pengalaman, dan pemikiran intelektual dalam perkembangan konstitusi di dunia dalam kapasitanya sebagai Sekretaris Tetap The Association of Asian of Asian Constitutional Court (AACC) Bidang Perencanaan dan Koordinasi. (Sri Pujianti)