JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebanyak 45 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Slamet Riyadi, Surakarta berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/11/2019) pagi. Kedatangan rombongan mahasiswa disambut oleh Peneliti MK Andriani Novitasari di lantai 4 Gedung MK.
Andriani antara lain menerangkan proses putusan di MK. Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim menyampaikan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum harus ada dalam putusan. Kalau di Mahkamah Kontitusi, strukturnya ada identitas Pemohon, pokok permohonan, bukti, keterangan ahli dan lainnya. Semuanya ada dalam putusan.
“Kalau Mahkamah menilai, mempertimbangkan sebuah perkara, semuanya harus terangkum dalam pendapat Mahkamah. Kita bisa melihat bagaimana argumentasi-argumentasi MK atau teori-teori yang dipergunakan Hakim MK pada saat memeriksa putusan,” jelas Andriani yang didampingi Waluyo S. Pradoto selaku Kepala Program Studi Hukum Universitas Slamet Riyadi.
Menurut Andriani, membaca putusan MK jangan hanya amar putusannya saja, tetapi harus membaca secara saksama dan detail pendapat MK putusan. Hal ini menghindari adanya trial by opinion dan trial by pers yang menjadi satu momok untuk pengadilan.
“Seperti putusan MK mengenai LGBT, MK langsung diadili oleh masyarakat, seolah-olah MK pro dengan adanya LGBT. Padahal tidak seperti itu yang dimaksud MK,” kata Andriani.
Dikatakan Andriani, dalam peradilan konstitusi dikenal adanya doktrin judicial activism dan judicial restraint yang berkembang dalam praktik, bisa dijadikan satu penulisan tersendiri. Para mahasiswa dapat mengkritisi praktik judicial activism dan judicial restraint.
“Judicial activism ketika hakim menerobos semua aturan maupun kewenangan-kewenangan yang lain. Contoh seperti Kasus Marbury versus Madison di Amerika Serikat, merupakan salah satu kasus judicial activism karena mengesampingkan aturan,” ucap Andriani.
Sedangkan judicial restraint, sambung Andriani, adalah sikap menahan diri peradilan supaya tidak menerobos. Pada hakikatnya hal ini merupakan penghormatan badan peradilan terhadap penyelenggaraan kewenangan legislatif maupun eksekutif. Baik judicial activism dan judicial restraint tidak bisa dikatakan baik ataupun buruk. “Maka di tengah-tengahnya ada judicial interpretation,” imbuh Andriani.
Lebih lanjut Andriani memaparkan tentang Hukum Acara MK, setidaknya ada registrasi perkara, sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang perbaikan permohonan, sidang pembuktian dengan mendatangkan Ahli, Presiden, DPR, Saksi. Juga ada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang bersifat tertutup dan sangat rahasia.
“Saat RPH hanya ada sembilan Hakim MK, seorang Panitera MK yang harus disumpah, tidak boleh membahas apa saja yang sudah disampaikan dalam RPH. Itu sangat rahasia,” tegas Andriani.
Kemudian berlanjut dengan sidang pengucapatan putusan. Usai pengucapan putusan, salinan putusan langsung disampaikan kepada para pihak yang bersidang di MK. Hal ini merupakan tugas dan kewajiban MK. Putusan juga diunggah ke laman MK. “Begitu putusan dibacakan Majelis Hakim Pleno MK, dalam beberapa menit, putusan langsung di-upload ke laman MK. “Semua langsung bisa mengunduhnya dari Sabang sampai Merauke bahkan seluruh dunia,” ungkap Andriani. (Nano Tresna Arfana/NRA).