BALI, HUMAS MK – Sejak 1982, sistem Konstitusi Turki telah menuliskan bagian khusus untuk jaminan hak sosial dan ekonomi dalam 24 pasal. Namun pelanggaran atas hak tersebut tidak dapat diperkarakan secara langsung di hadapan pengadilan oleh yang bersangkutan. Sehingga, keterbatasan ketentuan konstitusi yang berkaitan dengan hak sosial tersebut dapat menciptakan peluang bagi Mahkamah untuk memperjuangkan lebih aktif lagi atas pemenuhan hak sosial ekonomi masyarakat di ranah pengadilan. Hal tersebut diutarakan Engin Yildirim dari Mahkamah Konstitusi Turki yang hadir sebagai pemakalah dalam kegiatan Call for Paper yang diadakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Rabu (6/11/2019) di Nusa Dua, Bali.
Melalui makalah berjudul “Social Rights in the Constitutional System: A View from Turkey” ini, Yildirim menyebutkan bahwa penentu penting atas pemenuhan hak sosial ekonomi masyarakat Turki bergantung pada pendekatan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi Turki sebagai lembaga yang berhubungan dengan cabang-cabang politik. Dalam pandangannya, Yildirim masih melihat sikap yang terlalu hati-hati dari MK Turki untuk tidak masuk ke wilayah cabang eksekutif . Di samping itu, dirinya pun mencermati constitutional complain Turki secara eksplisit masih dibatasi pada ulasan tentang hak-hak klasik, baik berdasarkankonstitusi Turki sendiri maupun yang tercantum dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. “Melalui tulisan ini semoga dapat menjadi bahan masukan bagi Mahkamah Konstitusi Turki untuk makin meningkatkan kapasitas yudisialnya dalam menangani berbagai aspek perlindungan hak sosial masyarakat,” sebut Yildirim dalam presentasi yang dimoderatori oleh Lalu M. Hayyan Ul Haq.
Domain Pengadilan dalam Penegakan Hak-Hak Sosial
Masih dalam sesi pertama Call for Paper, Aalt Willem Heringa dari Universitas Maastrict, Belanda dengan makalah berjudul “Courts and Enforcing Social and Economic Rights” mengulas peran dan fungsi serta domain pengadilan dalam penegakan hak sosial dan ekonomi masyarakat. Menurutnya, pada negara penganut sistem demokrasi selalu ada pemisahan antara kekuasaan dan konstitusionalisme. Akibatnya pengadilan harus berpedoman pada pembuat aturan atau kebijakan terutama dalam upaya pengembangan, implementasi, dan penegakan hak-hak sosial. Meskipunterkadang, sambung Willem, pengadilan dapat saja menyinggung domain hak sosial melalui kewajiban hukum positifnya.
Menurut sudut pandang Willem, pengadilan dan upaya penyelesaian perkara yang ada di dalamnya terutama terkait dengan perlindungan hak sosial ekonomi masyarakat dapat terus disempurnakan akan tujuan keberadaannya. Sehingga dapat terus bertindak sebagai korektor dalam kasus kesewenang-wenangan terhadap pelanggaran hak dasar masyarakat tersebut.
“Saya mengusulkan agar legislatif dan pemerintah mengembangkan strategi yang beralasan untuk mengatasi berbagai hal sehubungan dengan perlindungan hak sosial dan ekonomi individu dalam setiap wilayah,” terang Willem dihadapan para peserta Call for Paper.
Kegiatan Call for Paper ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI yang menjadi bagian dari rangkaian The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019). Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari (6 – 7/11/2019), yang dalam setiap sesinya menghadirkan dua atau tiga pemakalahdari berbagai negara seperti Australia, Bangladesh, Cina, Kolombia, Jerman, Malaysia, Indonesia, Kenya, Kirgistan, Palestina, Rusia, Spanyol, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Turki. Untuk kemudian, didiskusikan dalam forum terbuka oleh pemakalah lainnya. (Sri Pujianti)