BALI, HUMAS MK - Dalam Piagam Republik Ceko dicantumkan berbagai ketentuan terkait hak dan kebebasan dasar warga negara dalam ekonomi dan sosial. Namun dalam kenyataan, dapat saja terjadi hasil yang berbeda secara diametrik. Hal ini terjadi karena hak ekonomi dan sosialtersebut seringkali bertentangan dengan nilai-nilai lain yang dilindungi oleh Konstitusi. Sementara itu, pengadilan konstitusi secara tradisional menggunakan uji proporsionalitas ketika ditemukannya konflik nilai-nilai konstitusional. Akibatnya, konstitusi menyisakan ruang untuk legislator untuk mengatur konten dan pembatasan pada pelaksanaan hak-hak ini oleh hukum. Demikian sampai Hakim Republik Ceko Jaroslav Fenyk mewakili Ketua Mahkamah Konstitusi Pavel dalam The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019), Short Course, and Call for Paper yang digelar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Senin (4/11/2019) di Nusa Dua, Bali.
Lebih jelas Jaroslav mengemukakan bahwa Konstitusi Republik Ceko memiliki karakter poly-legal. Artinya, konstitusi dalam arti yang lebih luas terdiri dari hukum konstitusional yang memuat daftar hak asasi manusia yang mendasar atau disebut \"Piagam\"yang dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 35-nya berisi daftar hak yang ditunjuk sebagai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, demikian adanya perjanjian hak asasi manusia (HAM) internasional juga turut memengaruhi keberadaan perkembangan konstitusi Republik Ceko.
Masyarakat yang kehidupannya makmur, jelas Jaroslav, telah membangun piramida untuk perlindungan hak asasi manusia secara bertahap mulai dari hak politik ke hak pribadi dan proseduralmenuju pada hak ekonomi dan sosial di bagian puncak piramidanya atau sering disebut sebagai hak positif. Menurutnya, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar karena demokrasi modern yang diatur oleh aturan hukum sering negara telah jauh-jauh hari bahkan telah 200 tahun lalu mengemukakan konsep kesejahteraan yang harus dipenuhi negara.
“Meskipun demikian, saya percaya bahwa aktivitas negara dalam kaitannya dengan hak ekonomi dan sosial harus mengikuti ketentuan bahwa ada hak tertentu dalam menjaminnya. Lalu ada yang memfasilitasi pelaksanaan hak tersebut, dan jika masalah muncul maka harus pula ada dukungan pelaksanaan hak tersebut dan di dalam pemenuhan hak tersebut harus ada pula manfaat di bawah hak tersebut secara langsung,” ujar Jaroslav pada simposium internasional ini pada sesi keempat dengan tema “European-American Perspectives” yang dimoderatori oleh Presiden Komisi Independen Pengawasan Implementasi Afghanistan Muhammad Qasim Hashimiza.
Pada kesempatan yang sama, pembicara berikutnya adalah Ketua MK Andora Dominique Rosseaudalam pokok pembahasan yang menjabarkan keberagaman wujud perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi oleh pengadilan hukum konstitusional di Andorra. Adapun Hakim dari Polandia Justyn Piskorski mengetengahkan permasalahan peralihan konstitusi Polandia yang awalnya menganut paham komunis menuju konstitusi baru.
Sebagai wujud kerja sama antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga sejenis di berbagai dunia, MKRI yang berperan sebagai Sekretaris Tetap The Association of Asian of Asian Constitutional Court (AACC) Bidang Perencanaan dan Koordinasi, terus berupaya untuk saling berbagi ide, pengalaman, dan pemikiran intelektual dalam perkembangan konstitusi di dunia. Melalui kegiatan ICCIS, Short Cours, dan Call for Paper yang terangkum dalam simposium bertaraf internasional ini selama 4 – 7 November 2019 ini, diharapkan jalinan kerja sama dengan banyak negara peserta dapat terjalin dengan lebih erat. Sehingga peran MKRI dan lembaga sejenis, semakin menggema dengan kuat dalam perlindungan hak konstitusional warga negara di dunia. (Sri Pujianti)