BALI, HUMAS MK – Keterilbatan MK Korea dalam perlindungan hak-hak dasar warga negara salah satunya dalam hal kewajiban untuk mempekerjakan penyandang disabilitas. Dalam hal ini, MK Korea membenarkan konstitusionalitas yang mengharuskan semua pelaku usaha dengan persentase tertentu agar melibatkan penyandang cacat sebagai karyawan.Demikian sampai Hakim MK Korea Seon Ae Lee dalam The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019), Short Course, and Call for Paper yang digelar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Senin (4/11/2019) di Nusa Dua, Bali.
Apabila terdapat usaha-usaha yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, sambung Lee, maka akan dikenakan biaya tertentu sebagai kompensasi ketidaktundukan pada konstitusi. “Jadi, wajib bagi setiap perusahaan mempromosikan pekerjaan bagidisabilitas. Karena pada dasarnya ketentuan yang dimaksud tidak melanggar kebebasan kerja dan hak milik dari sebuah usaha,” ujar Lee pada simposium internasional ini pada sesi kedua dengan tema “Perspektif Asia”.
Berikutnya Lee juga menjelaskan bahwa hak-hak dasar sosial masyarakat Korea tercantum dalam Pasal 31 – 36 UU Korea, yang mencakup perlindungan hak atas pendidikan danbekerja, hak untuk hidup bermartabat, serta hak untuk memiliki mata pencarian yang sehat. Akan tetapi, dalam konstitusional tersebut tidak dijelaskan secara spesifik dan rinci. Untuk itu, MK Korea hadir dalam memberikan penjelasan melalui hukum positifnya.
Diakui oleh Lee bahwa selain MK, ada pula peran negara yang juga harus hadir dalam pemenuhan hak-hak dasar tersebut. Seperti keuangan yang memadai dalam memenuhi keberlangsungan hak tersebut, seperti untuk mengakomodasi dan memberikan manfaat substantif berupa pemberian subsidi, layanan, fasilitas, dan lainnya. Dalam hubungan keterlibatan negara, konstitusi membebankan kewajiban pada negara untuk terlibat dalam masalah sosial guna menciptakan tatanan kehidupan sosial yang adil dalam semua aspek termasuk ekonomi,sosial, dan budaya. “Pada akhirnya hal ini akan memberikan keselarasan bagi warga negara dalam menggunakan kebebasan mereka dalam pemenuhan hak-hak dasarnya,” sampai Lee dalam pemaparan yang dimoderatori Hakim MK Turki Engin Yildirim.
Persaingan yang Bebas dan Adil
Pada kesempatan yang sama, Hakim MK Kerajaan Thailand Udomsak Nitimontree dalam pemaparan berjudul “The Constitutional Court of the Kingdom of Thailand and the Protection of Social and Economic Rights” menjelaskan bahwa ketentuan terkait hak sosial dan ekonomi telah dijamin dengan tegas sejak konstitusi pertama Kerajaan Thailand disahkan pada 1932. Misalnya dalam Bagian 13 dari UU Thailand, telah dijamin adanya kebebasan untukmengakui kepercayaan selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Selain itu, ada pula pada Bagian 14 UU Thailand terdapat jaminan kebebasan secara langsung terkait dengan tempat tinggal, properti, dan pekerjaan. Namun kemudian pada masa selanjutnya, keberadan hak sosial dan ekonomi semakin dikuatkan dengan dibentuknya MK Kerajaan Thailand pada 1998. “Sampai sekarang, Mahkamah Konstitusi Thailand telah memiliki wewenang dan tugas terutama pada tinjauan konstitusionalitas warga negaranya,” jelas Nitimontree dalam simposium internasional bertema “Constitutional Court and the Protection of Social and Economic Rights.”
Dalam paparan Nitimontree mencontohkan keterlibatan MK dalam pemenuhan hak ekonomi warga negara terutama dalam pemenuhan perlindungan persaingan perdagangan yang adil. MK Thailand dalam salah satu putusannya pernah menangani perkara terkait adanya ketentuan larangan pemilik usaha untuk menjual makanan atau minuman antara pukul 01:00 hingga 05:00. Atas hal tersebut, MK dalam penilaiannya berpendapat bahwa hal tersebut merupakan pembatasan kebebasan rakyat untuk terlibat dalam suatu usaha dalam persaingan yang bebas dan adil.
“Menurut MK keberlakuan ketentuan tersebut juga membebani orang lain yang perlu mengkonsumsi makanan atau minuman selama waktu tersebut. Sehingga berdasarkan atas alasan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan tersebut adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan konstitusi, dan karena itu dianggap tidak dapat diterapkan,” sambung Nitimontree dalam kegiatan yang turut hadir sembilan Hakim Konstitusi MKRI dan perwakilan delegasi negara anggota AACC seperti Afganistan, Azerbaijan, Kazakstan, Korea Selatan, Kirghistan, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Rusia, Thailand, Turki, Usbekistan, India, dan Maladewa serta para peneliti dari berbagai negara sahabat lainnya.
Pada kegiatan ini juga terdapat pemateri lainnya, yakni Hakim Rusia Nikolai Melnikov yang mengutarakan mengenai pentingnya hak ekonomi warga negara terutama dalam hal kepemilikan properti dan kebebasan kegiatan ekonomi dalam kebertumbuhan masyarakat. Di samping itu, Hakim Kirgistan Karybek Duisheev dalam uraiannya menekankan pada pentingnya prinsip-prinsip perlindungan sosial warga negara yang berorientasi sosial dengan memahami aturan hukum dan ekonomi pasar.
Pada pembahasan berikutnya tampil pula pembicara lainnya seperti Hakim Kazakhstan Kairat Mamiyang mengusung makalah berjudul “Protection of Social and Economic Rights of Citizens In thePractice of the Constitutional Council Of Kazakhstan”, sedangkan Hakim Myanmar Tin Mau Myingmenguraikan mekalah dengan mengangkat judul “The Jurisdiction of the Constitutional Tribunal and
Constitutional Protection of Socio Economic Rights in Myanmar”.
Sebagai wujud kerja sama antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga sejenis di berbagai dunia, MKRI yang berperan sebagai Sekretaris Tetap The Association of Asian of Asian Constitutional Court (AACC) Bidang Perencanaan dan Koordinasi, terus berupaya untuk saling berbagi ide, pengalaman, dan pemikiran intelektual dalam perkembangan konstitusi di dunia. Melalui kegiatan ICCIS, Short Cours, dan Call for Paper yang terangkum dalam simposium bertaraf internasional ini selama 2 – 7 November 2019 ini, diharapkan jalinan kerja sama dengan banyak negara peserta dapat terjalin dengan lebih erat. Sehingga peran MKRI dan lembaga sejenis, semakin menggema dengan kuat dalam perlindungan hak konstitusional warga negara di dunia. (Sri Pujianti)