JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 61/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh La Arta, warga Sulawesi Tenggara, pada Selasa (29/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sesuai dalam permohonan, La Arta mengujikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman Pasal 23 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Pasal 66 ayat (1) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dijadikan dasar Pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945 ).
Seorang diri tanpa didampingi kuasa hukum La Arta memaparkan pokok permohonan di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang terdiri Hakim Konstitusi Aswanto (ketua panel) didampingi dua anggota panel, Hakim KOnstitusi I Dewa Gede Palguna dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul. La Arta menerangkan, ia sekeluarga memiliki tanah seluas 2 hektar di Desa Sombano, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Namun tanah tersebut diserobot atas perintah La Ode Abdul Hamid bersama saudaranya. Padahal tanah itu sudah diakui oleh orangtua La Ode Abdul Hamid sebagai milik Pemohon.
Kemudian Pemohon menggugat perihal penyerobotan tanah tersebut ke Pengadilan Negeri Bau-Bau namun kalah. Menurut Pemohon, ada pemalsuan surat tanah oleh para penyerobot tanah. Karena itulah Pemohon mengambil langkah hukum berupa Peninjauan Kembali (PK). Setelah ada putusan kasasi perkara pidana pemalsuan surat tanah, maka Pemohon mengajukan permohonan PK kedua kali karena ada novum.
Upaya untuk untuk mengajukan PK kedua kali tidak dapat dilakukan karena ada Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 dari Mahkamah Agung (MA). “Namun surat edaran tersebut harus dinyatakan batal karena sudah ada surat edaran baru yakni Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali,” ujar La Arta kepada Majelis Hakim MK.
Menurut Pemohon, dengan berlakunya undang-undang rujukan dari surat edaran ini merugikan haknya sebagai Pemohon. “Saya sudah jelaskan dalam permohonan itu apa yang dirugikan. Pada sidang-sidang ini kami sudah menemukan satu alamat bahwa ternyata lawan kami ini menggunakan surat palsu. Sehingga kami laporkan dan dilapor dan disidangkan melalui putusan. Lawan kami itu telah terbukti menggunakan surat palsu dan putusan telah inkracht dan telah menjalani putusan itu,” papar Arta.
Kemudian Pemohon menemukan novum putusan Mahkamah Agung tentang pemalsuan surat oleh terdakwa lawan Pemohon. Alhasil Pemohon mengajukan PK kedua. Namun ternyata, ada surat edaran berikutnya yang menyatakan bahwa semua itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Berarti menahan hak kami ini tadi tidak berdasar,” ungkap Arta.
Pernah Diputus MK
Wakil Ketua MK Aswanto selaku Ketua Pleno menegaskan, Mahkamah Konstitusi pernah memutus norma yang sama diajukan Pemohon dan menyatakan inkonstitusional. “Artinya, norma itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nah, Saudara minta lagi untuk diuji,” ujar Aswanto.
Aswanto juga menyoroti kedudukan hukum Pemohon. “Mestinya Saudara menguraikan hak konstitusional yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terkait permohonan Saudara. Termasuk norma itu bertentangan dengan pasal-pasal yang Saudara minta untuk diuji. Sehingga kalau pasal atau norma yang diuji itu tidak dinyatakan berlaku atau tetap berlaku, maka Saudara tetap mengalami kerugian konstitusional. Itu tidak tergambar di bagian legal standing Saudara. Ini perlu diurai. Tidak perlu terlalu panjang, yang penting bisa ditangkap dan jelas,” ucap Aswanto.
Sementara itu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanggapi substansi permohonan. “Terkait dengan permohonan ini kami seolah-olah diminta mengadili kasus konkrit yang Saudara Pemohon hadapi. Padahal kewenangan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya adalah bukan itu. Tentu kami memahami sengketa yang Saudara hadapi dalam kaitan yang menjadi latar belakang diajukannya permohonan ini. Tetapi kami tidak mempunyai kewenangan untuk mencampuri hal itu,” kata Palguna.
Palguna juga mencermati sistematika permohonan. “Sebelum masuk ke sistematika, sekiranya nanti permohonan ini akan diperbaiki, kami sangat menyarankan kepada Saudara Pemohon, kalaupun tidak menggunakan kuasa, silakan berkonsultasi dengan mereka yang paham dengan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Bertanya bagaimana menyusun permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi,” saran Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengomentari, “Ini kan kasus konkrit, hanya pintu masuk saja. Jangan dianggap bahwa apa tadi yang sudah dikemukakan Saudara, Mahkamah bisa membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Baubau dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Baubau mengenai eksekusi. Nah, itu jauh panggang dari api. Tidak ada kewenangan kita mengenai itu,” tegas Manahan.
“Seharusnya dilihat dulu mana norma yang benar-benar dianggap melanggar hak konstitusional Saudara selaku yang merasa dirugikan. Tapi tidak jelas normanya. Semuanya Saudara gabung, baik Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah Agung, KUHAP, serta digabung lagi dengan surat edaran. Kami bingung yang mana menurut Pemohon merugikan hak Pemohon dalam hal adanya kasus yang Bapak alami. Bisa saja kasus ini menjadi pintu masuk, tapi itu bukan arahnya untuk menyelesaikan kasus Bapak konkrit tadi itu. Kami hanya melihat bagaimana norma yang menghalangi hak-hak Saudara itu,” urai Manahan. (Nano Tresna Arfana/NRA)