JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu (30/10/2019). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 62/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra yang berprofesi sebagai pengacara.
Dalam permohonan, Pemohon mendalilkan sebagai pemilih tetap dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Tahun 2019 sehingga mempunyai hak untuk memilih anggota DPR. Pemohon merasa dirugikan dengan kinerja DPR yang telah dipilih dan diberi mandat untuk menjalankan fungsinya antara lain legislasi tidak melaksanakan amanah tersebut secara baik, jujur, adil, terbuka, itikad baik, dan bertanggung jawab, terbukti dengan disetujuinya UU Perubahan Kedua UU KPK yang sejak awal rancangannya telah mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sehingga pembahasannya timbul tenggelam sejak tahun 2010.
Gregorius yang hadir tanpa pengacara menyebutkan pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK, sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di laman resmi DPR terkait pembahasan mengenai revisi UU KPK. Dengan adanya fakta tersebut, lanjutnya, jelas bahwa UU Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi dengan adanya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta keterbukaan yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang sebagaimana digariskan dalam Pasal 118 Tata Tertib DPR.
“Dilanggarnya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dalam pembentukan UU a quo terbukti dengan banyaknya penolakan oleh masyarakat luas. Dengan penolakan tersebut telah menjadi bukti nyata bahwa UU a quo tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan masyarakat luas dan asas keterbukaan yang telah dilanggar tersebut telah nyata karena tidak terbukanya akses publik untuk dapat memberikan masukan dan usulan atas undang-undang tersebut,” papar Gregorius kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dalam petitum-nya, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Ketua Panel Anwar Usman mencermati ada dua hal yang dipermasalahkan Pemohon. Pertama, prosedur pembahasan RUU Perubahan UU KPK dan yang kedua mempermasalahkan Perubahan Pasal 11 UU KPK mengenai tiga syarat yang harus dipenuhi agar dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
“Jadi, nanti supaya diperjelas, hal ini uji formil saja atau memang sekaligus juga terkait dengan substansi? Kalau misalnya uji formil saja berarti kan Pasal 11 yang Saudara uraikan dalam poin 24 bisa menyangkut materi substansi Undang-Undang,” kata Anwar.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menanggapi bahwa uji formil UU KPK terkait dengan proses pembentukannya. “Nanti Saudara uraikan karena pembentukan itu ada tahapan-tahapannya, ada persiapan, perencanaan, pembahasan, pengesahan, pengundangan maupun penetapan,” ucap Wahiduddin.
“Saudara harus jelaskan, ketika persiapan apa cacat formilnya? Termasuk juga ketika pembahasan yang ada rapat-rapatnya. Bagaimana posisi rapatnya? Di sini Saudara hanya mengutip berita koran,” tandas Wahiduddin.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyampaikan agar Pemohon menyempurnakan permohonan selambat-lambatnya diserahkan pada Selasa, 12 November pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Nano Tresna Arfana/LA)