JAKARTA (Suara Karya): Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya secara resmi mengesahkan RUU Pelayaran menjadi undang-undang. Ini setelah sepuluh atau seluruh fraksi di DPR memberikan persetujuan lewat pandangan akhir masing-masing dalam sidang paripurna DPR, kemarin, di Jakarta.
Namun, beberapa anggota FPDIP dan FKB menyatakan segera melakukan uji publik atas UU Pelayaran ini karena sejumlah alasan teknis dan ekonomis.
Ketika sidang paripurna DPR berlangsung, ribuan karyawan PT Pelindo dari berbagai daerah berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, menentang pengesahan RUU Pelayaran, karena dinilai merugikan mereka.
UU Pelayaran yang baru disahkan itu merupakan penyempurnaan atas UU Nomor 21 Tahun 1992. UU baru terdiri atas 22 bab dan 355 pasal atau lebih banyak dari usulan pemerintah yang mengajukan 17 bab dan 164 pasal.
Pemerintah, yang diwakili Menhub Jusman Syafii Djamal, dalam pandangan akhirnya, menyatakan, semangat baru UU Pelayaran telah diterima secara baik oleh fraksi-fraksi di DPR. "Intinya UU Pelayaran ini membawa perubahan baru, yakni mengakhiri monopoli PT Pelindo dan kemudian mengubahnya menjadi lebih tegas. Fungsi regulator kembali ke tangan pemerintah, sementara Pelindo tetap sebagai operator. Ini akan berdampak menciptakan persaingan usaha yang sehat," kata Jusman.
Sebelum sidang paripurna ditutup dan Ketua DPR Agung Laksono selaku pimpinan sidang meminta persetujuan peserta sidang mengenai pengesahan RUU Pelayaran, dua anggota Fraksi PDIP--Hasto Kristianto dan Suwignyo--melakukan interupsi. Mereka menekankan perlunya dilakukan uji publik atas RUU Pelayaran setelah disahkan DPR. "Uji publik perlu agar UU itu tidak bernasib seperti UU Penanaman Modal yang akhirnya dikoreksi Mahkamah Konstitusi," kata Hasto.
Suwignyo menambahkan, pihaknya mendengar bahwa penyusunan RUU Pelayaran tidak melibatkan beberapa pihak terkait, antara lain Menneg BUMN dan Polri.
Sebelumnya, saat bertemu sejumlah karyawan Pelindo yang berdemonstrasi, Hasto mengatakan, Kongres AS saja menentang keras pengambilalihan pengelolaan pelabuhan oleh swasta. Dia berpendapat, liberalisasi pelabuhan di Indonesia bisa berdampak menghancurkan Pelindo. Karyawan Pelindo juga terpaksa dirasionalisasi demi efisiensi dan persaingan usaha. "Ada upaya sistematis untuk melikuidasi Pelindo," ujar Hasto menyimpulkan.
Karena itu, menurut Hasto, pihaknya siap mengajukan uji publik terkait sejumlah materi dalam UU Pelayaran yang berpotensi merugikan bangsa. PDIP juga akan meminta keberadaan BUMN yang mengelola pelabuhan diberi perlindungan dari intervensi asing. "Liberalisasi telah mencengkeram bangsa ini. Setelah UU Investasi, sekarang pelabuhan diliberalisasi pula," kata Hasto.
Dua anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) juga berencana mengajukan uji publik terhadap UU Pelayaran ini. Mereka menganganggap UU Pelayaran menjadi pintu masuk liberalisasi jasa kepelabuhanan.
Pernyataan FKB itu diutarakan Ali Mubarok dan Choirul Sholeh Rasyid di hadapan sekitar seribu pengunjuk rasa yang terdiri dari anggota Serikat Pekerja Pelindo yang berdemo di pintu masuk Gedung DPR/MPR Jakarta.
Choirul menegaskan, upaya-upaya meliberalisasi pelabuhan harus ditolak. "Meskipun RUU Pelayaran disahkan DPR, PDIP dan PKB akan terus memperjuangkan peninjauan kembali pelaksanaan undang-undang tersebut," katanya.
Sekitar seribu karyawan Pelindo yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pelindo Indonesia (SPPI) menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Pelayaran. Mereka menilai RUU Pelayaran sebagai bentuk liberalisasi dalam pengelolaan pelabuhan umum. Dalam berunjuk rasa itu mereka menggelar berbagai spanduk yang berisi penolakan atas pengesahan RUU Pelayaran menjadi undang-undang. Mereka juga menolak penjualan Pelindo serta penguasaan aset negara oleh pihak asing.
Pengunjuk rasa menilai, UU Pelayaran membuka peluang bagi swasta nasional maupun asing untuk menyelenggarakan jasa kepelabuhanan. Padahal, pelabuhan merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan rakyat. Liberalisasi kepelabuhanan, menurut mereka, akan mengakibatkan persaingan tidak sehat serta menimbulkan birokrasi baru yang mengakibatkan maraknya korupsi.
Pengunjuk rasa juga mengkhawatirkan RUU Pelayaran memberikan hak kepada swasta mengendalikan arus perdagangan nasional dan ekspor impor. Karena itu, mereka mendesak DPR membatalkan pengesahan RUU Pelayaran menjadi undang-undang.
Terkait komitmen sejumlah anggota DPR mengajukan uji publik terhadap UU Pelayaran, Menhub Jusman Syafii Djamal menyatakan menolak langkah ke arah itu. "Tidak perlu ada uji publik. Pembahasan RUU Pelayaran sudah memakan waktu cukup lama, yakni sekitar sembilan bulan," katanya.
Menurut Jusman, selama pembahasan itu pula sekitar 500 daftar inventarisasi masalah (DIM) dibahas intensif oleh Panitia Kerja Komisi V DPR dan tim pemerintah. Itu merupakan cerminan aspirasi yang berkembang, termasuk masyarakat.
Di sisi lain, Dirjen Perhubungan Laut Effendy Batubara menyatakan tidak berkeberatan jika DPR menginginkan uji publik atas UU Pelayaran. "Namun ini kan baru saja disahkan," katanya.
Menurut Effendy, pihak-pihak yang tidak setuju dan ingin melakukan koreksi terhadap UU Pelayaran bisa mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. "Pemerintah sudah terbuka. Silakan saja," ujarnya.
Effendy juga menyatakan, pihaknya menargetkan peraturan pemerintah (PP) mengenai UU Pelayaran dikeluarkan tahun ini juga. (Rully/Syamsuri)
Sumber www.suarakarya-online.com (Rabu, 9 April 2008)
Foto www.suarakarya-online.com