JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), pada Senin (28/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Sunariyo, Netrawati, Rosyidah Setiani, Wiwin Taswin, dan lainnya, para pemohon mengatakan bahwa pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada persidangan sebelumnya.
Wiwin Taswin selaku salah satu Pemohon mengatakan pihaknya telah memperbaiki judul permohonan dengan mempertegas bahwa ini merupakan permohonan pengujian formil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengujian materiil terhadap pasal 21 ayat 1 huruf a UU Republik Indonesia. “Jadi selain mempertegas pengujiannya, kami juga sudah memasukkan obyek yang diuji yakni UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019,” ujar Wiwin dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, para Pemohon juga mempertegas legal standing dengan mempertajam dengan menyatakan bahwa para pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia yang sedang menempuh kuliah program pascasarjana magister hukum di Universitas Islam As-Syafi'iyah, sekaligus berprofesi sebagai advokat yang concern dengan dunia hukum. Menurut Wiwin, sebagai warga negara yang concern dengan dunia hukum, tentunya memiliki hak konstitusional dalam penegakan hukum di Indonesia.
“Secara formil para pemohon, berhak atas berlakunya sebuah Undang-Undang yang dibentuk melalui prosedur yang benar berdasarkan hukum dan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika, peraturan perundang-undangan dibentuk melalui prosedur yang salah tentu pemohon akan dirugikan secara konstitusional, karena akan menjadi terikat dengan suatu undang-undang yang cacat formil,” tegasnya.
Selanjutnya, pemohon memperbaiki bagian petitum. Dalam petitum, para pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Sedangkan dalam pengujian Undang-Undang formil, para pemohon meminta MK untuk menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 secara formil tidak memenuhi mekanisme peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam pengujian materiil, menurutnya, apabila MK mempunyai pendapat bahwa pembentukan RI Nmor 19 Tahun 2019, telah memenuhi prosedur dan mekaniseme pembentukan peraturan pedunang-undangan, maka pihaknya memohon keoad MK untuk menyatakan pasal 21 ayat 1 huruf a UU nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam persidangan sebelumnya, Wiwin Taswin selaku salah satu Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945. Menurut para Pemohon, pengesahan UU KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak sesuai dengan semangat TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan sama sekali tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sambungnya, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara.
Selain itu, para Pemohon juga menilai perubahan UU KPK mengalami cacat formil dalam pembentukannya dan pengambilan keputusan oleh DPR dalam pembentukannya juga tidak memenuhi syarat kuorum. Dengan demikian, pembentukan perubahan UU KPK secara nyata melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Kemudian, para Pemohon juga mendalilkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan sifat independen. Dengan sifat ini, maka terdapat jaminan terhadap penindakan dan pencegahan korupsi yang dapat dilaksanakan tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sehingga penindakan dan pencegahan korupsi dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan adanya perubahan UU KPK memunculkan Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a yang menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas : a. Dewan Pengawas yan berjumlah 5 (lima) orang”. Keberadaan dewan ini berpotensi mengganggu independensi KPK dalam melakukan tugas dan fungsinya. Akibatnya penindasan dan pencegahan korupsi tidak maksimal dan berpotensi menyuburkan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, para Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan keberlakuan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara formil tidak memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan harus dinyatakan batal demi hukum. (Utami/LA)