JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) pada Kamis (24/10/2019). Sidang perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 dimohonkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam perkara ini, para Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945.
Pada sidang kedua ini, Donal Faris dan Violla Reininda selaku kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonan berupa penambahan argumentasi permohonan terkait dengan rasionalisasi masa tunggu bagi mantan terpidana korupsi untuk dapat kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam hal ini, sambungnya, masa tunggu tersebut dilakukan guna meminimalisasi potensi berulangnya perilaku koruptif, membenahi pencalonan kepala daerah, dan secara tidak langsung mencegah setiap orang untuk melakukan korupsi.
“Masa tunggu di sini, kami ubah menjadi 10 tahun dari sebelumnya 5 tahun dengan alasan disamakan dengan waktu maksimal jabatan kepala daerah, yaitu 10 tahun atau dua periode,” ujar Violla di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra.
Lebih lanjut, Violla menyebutkan bahwa hal tersebut dikehendaki para Pemohon agar mantan narapidana kasus korusi tersebut dapat berbenah dan mempersiapkan diri menjadi kepala daerah. Mengingat pada jabatan publik tersebut terdapat wewenang serta tanggung jawab yang besar.
Biaya Politik Mahal
Pada kesempatan selanjutnya, Donal Faris menjelaskan pula mengenai masalah demokrasi dan kontestasi politik, mengingat maraknya politik uang dalam democracy electoral. Akibatnya biaya politik menjadi mahal sehingga muncul pula persoalan jual beli pencalonan, yang berujung pada praktik korupsi dan politik uang dalam pemilu.
“Akibat mahalnya biaya politik, maka kepala daerah berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan tata kelola kepemiluan dan sistem pemerintahan di daerah,” tutur Donal.
Tidak Berdaya Cegah
Selanjutnya terkait dengan perilaku korupsi kepala daerah, Donal menyebutkan pula bahwa sesuai data 2018 terdapat 253 kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi oleh penegak hukum. Dengan rata-rata vonis terhadap kepala daerah yang ditindak KPK tersebut adalah 6 tahun 4 bulan, lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yakni 7 tahun 5 bulan. Meskipun menjamurnya praktik korupsi, diakui Donal bahwa justru lembaga pengadilan hanya memberikan vonis yang tidak memberikan efek jera dan berdaya cegah.
Sebelumnya, para Pemohon menyampaikan berlakunya aturan diperkenankan orang yang berstatus mantan terpidana korupsi menjadi calon kepala daerah, dengan hanya menyampaikan pengumuman kepada publik, telah menghambat upaya dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, pasal a quo juga menghalangi usaha para Pemohon untuk mendorong pemberdayaan rakyat agar mampu berpartisipasi dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan guna mewujudkan sistem politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang bersih dari korupsi yang berlandaskan keadilan sosial dan gender. Menurut para pemohon, dengan berlakunya pasal a quo telah membuka kesempatan dan memperbolehkan mantan terpidana korupsi untuk menjadi kepala daerah atau setidaknya menjadi calon kepala daerah tanpa adanya masa tunggu bagi yang bersangkutan.
Meski hak politik adalah sesuatu yang dijamin pemenuhannya oleh UUD 1945, tetapi hak politik bukanlah hak yang tidak dapat dibatasi ketika hendak menjalankan kewajiban. Konstitusional melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam situasi tertentu memperkenankan negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan tertentu agar hak asasi yang berada di bawah jaminannya dapat dilindungi, dihormati, dan dipenuhi.
Akibat ketiadaan aturan pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapida korupsi untuk maju lagi dalam kontestasi pemilu, menyebabkan perhelatan pemilu diikuti oleh mantan terpidana kasus korupsi. Dengan demikian, kepala daerah yang berstatus mantan terpidana kasus korupsi memiliki peluang yang besar untuk mengulangi kembali perbuatannya. Untuk itu, dalam petitum Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”. (Sri Pujianti/LA)