JAKARTA, HUMAS MKRI - Hanns Seidel Foundation atau lebih dikenal dengan HSF melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/10/2019). Kunjungan Kepala Divisi Kerja Sama untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara HSF Stefan Burkhardt diterima langsung oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra di Gedung MK.
Stefan mengungkapkan kunjungannya untuk memperkenalkan diri sebagai Kepala Divisi Kerja Sama untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara HSF menggantikan Daniel Heilmann. Ia menjelaskan bahwa kedatangannya untuk membahas kerja sama antara HSF dan MKRI di masa mendatang.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyambut baik kunjungan tersebut dan menyebut adanya keterikatan erat dengan HSF sejak MKRI berdiri. Menurutnya, keberadaan MKRI dipengaruhi oleh MK Jerman hingga saat ini. Salah satu contoh menarik yang dibahas Palguna adalah mengenai constitutional complaint yang dimiliki oleh MK Jerman. Kewenangan tersebut, lanjutnya, tidak dimiliki oleh MKRI. “Hal inilah yang menjadikan saya mengambil isu tersebut dalam disertasi saya,” jelas Palguna.
Terkait constitutional complaint tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra berharap adanya terobosan akademis melalui penelitian karena banyak permohonan yang masuk ke MKRI juga berupa constitutional complaint. Sementara itu, Saldi juga mengungkapkan harapannya agar kunjungan tersebut dapat mempererat hubungan antara MKRI dan HSF. Semisal, lanjutnya, dalam bidang penelitian serta peningkatan sumber daya manusia.
Dalam kesempatan itu, selain tidak memiliki kewenangan constitutional complaint, Stefan mempertanyakan tantangan lain yang dihadapi oleh MKRI. Menanggapi hal ini, Palguna menyatakan meski MKRI memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang, namun permasalahan yang muncul dalam setiap permohonan uji undang-undang terkait kasus konkret. “Dimana pihak yang berwenang salah dalam menafsirkan suatu undang-undang,” ujarnya.
Pada akhirnya, lanjut Palguna, hakim konstitusi dituntut untuk melakukan inovasi dalam memutus. “Jadi, permasalahan di sini adalah bagaimana pihak yang berwenang menafsirkan undang-undang. Mungkin di Jerman, hal ini bisa diselesaikan dengan constitutional question, tapi di Indonesia, tidak ada mekanisme seperti itu,” ujarnya. (Lulu Anjarsari)